Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022.
Perppu yang berisi 1.117 halaman dan 186 pasal ini bertujuan menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU tersebut “inkonstitusional bersyarat” (tidak sesuai konstitusi dan perlu direvisi sesuai syarat tertentu) selama dua tahun – sehingga membuat UU tersebut belum bisa diimplementasikan.
Artinya, Perppu baru ini secara otomatis menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja.
Menurut pemerintah, putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat telah mempengaruhi perilaku dunia usaha di dalam dan luar negeri yang menunggu keberlanjutan implementasi UU tersebut.
Namun, di sisi lain, sejumlah organisasi serikat buruh menyatakan bahwa pasal-pasal klaster ketenagakerjaan dalam Perppu tersebut justru merugikan posisi pekerja.
Terlepas dari pro kontra isi yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja, para pakar hukum tata negara lebih menyoroti proses yang ditempuh pemerintah, utamanya Presiden Jokowi, dalam penerbitan Perppu ini. Mereka kompak menyatakan bahwa langkah pemerintah menerbitkan Perppu ini lagi-lagi inkonstitusional dan menunjukkan kuatnya karakteristik otoritarianisme pemerintah.
Terbitnya Perppu Cipta Kerja ini bukan hanya melahirkan kembali isi dari UU Cipta Kerja yang bermasalah dan melanggar hak-hak pekerja, tapi juga terang-terangan menunjukkan praktik buruk pemerintah yang mengabaikan konstitusi – dan ini semua sesuai dengan karakteristik otoritarianisme.
Ucapan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menegaskan bahwa Perppu itu hak subjektif presiden juga tidak patut diutarakan oleh seorang menteri di situasi seperti ini.
Indonesia merupakan negara hukum, sehingga semua harus ada ukurannya, yaitu konstitusi. Subjektivitas seorang presiden tidak bisa dijadikan dasar utama dalam mengambil keputusan kebijakan. Jika terjadi, ini jadinya seperti titah raja, tidak lagi mencerminkan negara hukum.
Dengan begini, Presiden Jokowi seakan mengambil jalan pintas untuk menghindari pembahasan politik guna mengakomodasi kepentingan pengusaha semata. Ini sama saja dengan pembajakan demokrasi.
Berdasarkan UU No. 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, penerbitan Perppu adalah kewenangan dan hak pemerintah, dalam hal ini penetapannya oleh presiden. Perppu ini selanjutnya harus diajukan ke DPR pada masa sidang berikutnya untuk mendapat persetujuan atau penolakan.
Jika disetujui oleh DPR, maka Perppu akan berlaku sebagai UU. Jika ditolak, maka akan kembali ke peraturan awal, yang berarti pemerintah dan DPR harus tetap merevisi UU Cipta Kerja sebagaimana putusan MK.
DPR sudah seharusnya menolak Perppu Cipta Kerja ini jika lembaga legislatif tersebut masih mau dianggap paham demokrasi dan menjunjung prinsip negara hukum.