Oleh : Pinto Buana Putra
Research associate di Institute for Democracy and Welfarism (IDW) Jogja, Universitas Gadjah Mada
Sejak Oktober 2022, pemerintah telah memperingatkan masyarakat bahwa prospek perekonomian kedepan cenderung suram akibat dampak Perang Rusia-Ukraina dan melonjaknya inflasi di berbagai negara.
Sejumlah ahli ekonomi memang telah menyatakan bahwa dengan peluang serta potensi yang ada, ekonomi Indonesia masih bisa terkendali walaupun melambat pertumbuhanya. Namun, perlambatan ekonomi ini tetap perlu perhatian serius, utamanya akan imbasnya terhadap sektor ketenagakerjaan.
Kondisi ini misalnya terlihat dari bagaimana perusahaan-perusahan startup – juga sektor lainnya – melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran. Gelombang PHK ini menimbulkan lingkaran setan ketidakpastian ekonomi. Sebab, salah satu variabel indikator untuk mengukur pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan per kapita dan produk domestik regional bruto.
Dalam menghadapi hal ini, pemerintah perlu turun tangan memperkuat jaminan sosial bagi para pekerja yang nasibnya terombang-ambing oleh ketidakpastian.
Masalah sistemik akibat PHK
Efek resesi global yang dirasakan oleh pelaku bisnis memicu PHK. Hal ini disebabkan oleh pemasukan dari perusahaan tidak sejalan dengan biaya-biaya yang timbul untuk menjalankan proses bisnis, termasuk biaya personil yang menjadi porsi terbesar. Banyak metode yang dipilih oleh para pemberi kerja salah satunya adalah pengurangan biaya personil melalui PHK. Selain itu, PHK terjadi karena transformasi bisnis di era digitalisasi membutuhkan tenaga manusia yang lebih sedikit, membuat perusahaan mengurangi biaya yang tidak berkontribusi untuk proses bisnis.
Akibat PHK, daya beli masyarakat dan laju permintaan pun menurun seiring dengan berkurangnya penghasilan. Ini membuat laju pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan hingga penurunan, yang semakin membuka gerbang untuk gelombang PHK berikutnya.
Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi negara untuk menjaga kestabilan perekonomian. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan akan mengedepankan dialog bipartit antara pekerja dan pemberi kerja untuk menghindari PHK di tengah krisis ekonomi. Namun, ini tak serta merta membuat perusahaan memiliki kapasitas untuk mempertahankan pekerjanya di tengah ketidakpastian ekonomi.
Oleh karena itu, jaminan sosial terhadap terjadinya kehilangan pekerjaan tetap harus tersedia dan diketahui oleh masyarakat yang terdampak. Negara-negara di dunia sudah mengadopsi Jaminan Sosial untuk Kehilangan Pekerjaan – biasanya disebut dengan istilah “Unemployment Insurance” – termasuk di Indonesia.
Skema ini dikenal sebagai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang berada di bawah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJamsostek) bekerja sama dengan Kemenaker. Program ini memberikan bantuan tunai dalam jangka waktu tertentu serta pendampingan akses informasi kerja kepada individu yang terdampak PHK.
Bagaimana JKP bantu atasi resesi
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Hal itu merupakan aturan turunan dari Undang Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Melalui BPJamsostek, pemerintah memberikan manfaat yang dapat diterima oleh peserta yang terkena PHK ,dengan syarat terdaftar sebagai peserta selama 24 bulan, dengan masa iuran 12 bulan dan membayar iuran berturut-turut selama 3 bulan. Iuran yang dibayarkan sebagaimana ditetapkan di PP 37/2021 adalah sebesar 0,46% dari upah per bulan pekerja/buruh yang dilaporkan oleh perusahaan ke BPJamsostek yang ditanggung oleh pemerintah maupun dari skema jaminan keselamatan kerja dan jaminan kematian.
Manfaat yang diterima sesuai ketentuan adalah manfaat tunai diberikan setiap bulan, paling banyak 6 bulan upah dengan besaran manfaat 45% dari upah sebulan untuk 3 bulan pertama dan 25% dari upah sebulan untuk 3 bulan berikutnya. Manfaat non-keuangannya berupa pelatihan konseling, informasi di pasar kerja, serta pelatihan kerja.
Jaminan Kehilangan Pekerjaan dapat membantu pemulihan ekonomi selama periode gelap berlangsung, berbarengan dengan program bantuan sosial lain seperti program sembako, Program Keluarga Harapan, Bantuan Sosial Tunai, dan Bantuan Langsung Tunai. Alasanya, program ini memastikan perputaran ekonomi dan daya beli masyarakat tetap berjalan dengan manfaat tunai yang diberikan. Dengan adanya mekanisme bantalan ekonomi tersebut, hajat hidup masyarakat yang terancam akibat resesi ekonomi setidaknya tidak terlalu berefek langsung terhadap sistem kehidupan sosial-ekonomi.
Rekomendasi pengembangan JKP
Dalam mengembangkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan, sebuah penelitian pada 1951 dari Fordham University yang masih relevan hingga kini, menyebutkan bahwa pemerintah bisa melakukan optimalisasi melalui coverage (cakupan), administration (administrasi), benefit (manfaat), serta eligibility (kelayakan).
Pertama adalah coverage, yakni bagaimana seluruh lapisan masyarakat yang bekerja dan usia produktif bisa terlindungi serta paham akan manfaat tersebut, terutama pekerja organisasi non-profit yang masih banyak yang belum terlindungi.
Kedua adalah administration. Integrasi JKP dengan portal penerimaan pekerjaan menjadi syarat wajib yang harus dipahami oleh pemberi kerja sebelum mempekerjakan atau merekrut pekerja melalui regulasi yang dibuat secara mandiri.
Intergrasi dilakukan salah satunya dengan cara memadukan input data pekerja dan output data pekerja yang sudah ada, serta memadankan data pekerja yang terdampak kehilangan pekerjaan. Sehingga, validitas data penerima bantuan dan administrasi bisa terjamin dan tepat sasaran.
Ketiga, rasio manfaat (benefit) yang diberikan sebaiknya sesuai dengan indeks perekonomian dan indeks konsumsi yang berada pada tahun berjalan, sehingga bantalan ekonomi diberikan tepat untuk menahan dampak dari hempasan ekonomi.
Contohnya jumlah untuk manfaat uang tunai. Jika hanya 45% pada bulan pertama dari bantuan tunai yang diterima, penerima akan kesulitan untuk mempertahankan keadaan ekonomi kembali dan membutuhkan penghasilan ekstra selama proses mencari pekerjaan baru. Porsi rasionya perlu ditingkatkan untuk tetap menjaga daya beli di periode awal kehilangan pekerjaan.
Terakhir adalah bagaimana penerima manfaat (eligible) yang terdaftar melalui peserta BPJamsostek seharusnya turut menyertakan pekerja informal. Selama ini, jaminan yang ada hanya mencakup segmen penerima upah atau pekerja formal, sedangkan pekerja informal masih belum punya mekanisme jaminan kehilangan pekerjaan yang dikembangkan oleh pemerintah.
Ini penting mengingat 60% atau 80 juta tenaga kerja Indonesia bergerak di sektor informal. Tanpa bantalan kehilangan pekerjaan yang sesuai, guncangan ekonomi yang besar akan sulit terhindarkan.