Tangerang, 20 Juli 2023 – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim, mengemukakan bahwa berdasarkan hasil Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 dan 2022 atau Rapor Pendidikan 2022 dan 2023, sebanyak 24,4 persen peserta didik mengalami berbagai jenis perundungan. Selain itu, hingga saat ini anak-anak juga masih rentan menjadi korban perundungan fisik, verbal, relasional, ataupun secara daring (cyberbullying).
“Saya juga masih sering mendengar miskonsepsi yang menganggap perundungan sebagai cara menguatkan mental peserta didik. Ini adalah miskonsepsi yang sama sekali tidak benar karena pendidikan karakter semestinya tidak dilakukan dengan kekerasan yang bisa membuat anak-anak merasa takut dan trauma,” ujar Mendikbudristek dalam video sambutannya pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Roots Anti Perundungan Angkatan VII yang digelar hibrida di Tangerang, Kamis (20/7).
Atas kondisi tersebut, Mendikbudristek mengajak para pemangku kepentingan untuk melanjutkan program Roots Anti Perundungan untuk jenjang SMP, SMA, dan SMK yang telah dilaksanakan sejak tahun 2021. Program Roots Anti Perundungan tahun 2023 tidak hanya fokus menyelenggarakan bimtek bagi para fasilitator guru (fasgu) tetapi juga memastikan implementasi program Roots di satuan pendidikan.
Tahun 2021, Program Roots telah melatih lebih dari 3.500 fasgu dari 1.800 lebih satuan pendidikan. Tahun 2022, jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 10.000 fasgu dari 5.000 lebih satuan pendidikan, lalu di tahun ini kepesertaan Roots ditargetkan melibatkan 2.750 satuan pendidikan yang belum pernah mengikuti bimtek.
“Pada tahun ini, selain memperluas Roots menjadi gerakan, Kemendikbudristek berfokus pada pengawasan dan memastikan implementasi program Roots betul-betul terlaksana sehingga kerangka kerja dan tujuan utama dari program ini tercapai,” ujar Nadiem.
Program Roots Anti Perundungan bertujuan untuk memperkuat peran serta tenaga pendidik dan peserta didik dalam pencegahan kekerasan di satuan pendidikan. Bimtek yang diselenggarakan kepada para tenaga pendidik akan meningkatkan kapasitas tenaga pendidik dalam memfasilitasi peserta didik di satuan pendidikan untuk menjadi agen perubahan pencegahan perundungan.
Berdasarkan data yang dihimpun Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek, setelah bimtek sebanyak 79,66 persen tenaga pendidik setuju merasakan dampak hubungan antarwarga satuan pendidikan menjadi semakin positif. Lebih dari itu, hampir semua peserta didik terdorong untuk berani melaporkan kejadian perundungan di sekitarnya.
Di samping itu, 16,55 persen satuan pendidikan mengadaptasi Roots sebagai ekstrakurikuler yang berkelanjutan dan 32,41 persen satuan pendidikan sudah membuat prosedur pelaporan kekerasan (termasuk perundungan) yang ramah peserta didik.
Namun demikian, dalam rangka memastikan implementasi program Roots Anti Perundungan, Kemendikbudristek melalui Puspeka bekerja sama dengan Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP), Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta para fasilitator nasional (fasnas).
Dukungan Semua Pihak
Pada kesempatan sebelumnya, Kepala BBPMP Provinsi Jawa Barat, Sri Wahyuningsih, menyatakan pihaknya akan terus mengawal implementasi program Roots Anti Perundungan. Salah satunya adalah dengan memastikan pengimbasan hasil bimtek yang telah dilaksanakan di Jawa Barat melalui kerja sama Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Kami akan menindaklanjut teman-teman yang sudah mendapatkan bimtek agar tidak berhenti, tetapi betul-betul diimbaskan kepada tenaga pendidik-tenaga pendidik yang lain di satuan pendidikan masing-masing serta bagi lingkungan satuan pendidikan lainnya. Kami juga akan minta para fasgu membagikan pengalaman di dalam sistem yang sedang kami kembangkan supaya pencegahan di Jawa Barat bisa kita kawal bersama-sama,” ujar Sri.
Sementara itu, Analis Pengembangan Kompetensi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Achmad Sundoro, mengungkapkan bahwa Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah memiliki aplikasi “Stopper” atau Sistem Terintegrasi Olah Pengaduan Perundungan untuk pelaporan.
“Jadi kalau ada perundungan mulai dari peserta didik ke peserta didik, peserta didik ke tenaga pendidik, tenaga pendidik ke peserta didik, tenaga pendidik ke tenaga pendidik, tenaga pendidik ke kepala satuan pendidikan, kepala satuan pendidikan ke tenaga pendidik, itu bisa melalui Stopper. Nanti sudah ada jalurnya, kami bekerja sama dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat,” paparnya.
Achmad mencontohkan, apabila terjadi perundungan antar peserta didik maka fasilitator tenaga pendidik di satuan pendidikan yang akan bertindak. Sedangkan untuk tenaga pendidik ke tenaga pendidik, maka kepala satuan pendidikan atau pengawas yang akan menangani, termasuk yang di satuan pendidikan swasta. Akan tetapi, bila terjadi oleh tenaga pendidik ke kepala satuan pendidikan atau kepala satuan pendidikan dengan pengawas, maka akan ditangani oleh Dinas Pendidikan.
“Jadi ada perjenjangannya,” jelas Achmad.
Ditemui usai memberikan materi bimtek Roots Anti Perundungan, Fasilitator Nasional Program Roots dari SMAN 1 Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Yogyakarta, Niken Kurniatun, memastikan tugas dan peran fasilitator nasional tidak berhenti sampai di bimtek Roots. Setelah itu, para fasnas dan fasgu tetap menjalin komunikasi melalui aplikasi jejaring pesan WhatsApp.
“Setelah bimtek, tugas kami (fasnas) belum selesai. Kami sepakat dari beberapa kegiatan, baik daring maupun luring grup WhatsApp itu tidak dihapus. Dari grup itulah kami bisa memotivasi dan menyampaikan kepada fasgu untuk dapat berbagi praktik baik. Dari grup itu juga, kami saling berkomunikasi sehingga mengetahui perkembangan mereka,” terang Niken.
Fasilitator Tenaga pendidik dari SMK Kesehatan Purwakarta, Mukhtar Hasanudin, meyakinkan bahwa setelah mengikuti bimtek Roots akan langsung mengimplementasikan program-program anti perundungan di satuan pendidikannya.
“Kami akan mengimplementasikan, akan melaksanakan hasil belajar dari bimtek ini di satuan pendidikan. Bagaimana cara mengajar yang tepat dan efektif sehingga peserta didik di satuan pendidikan tidak mengalami atau terjadi perundungan, termasuk di media sosial,” pungkas Mukhtar. (Prima, Editor: Seno)