Media Daulat Rakyat

Inshot 20251012 002746202

Kenangan, Cinta, dan Keteguhan di Senja Hari

Inshot 20251012 002023729

Dalam puisi “Kenangan itu memang ada”, Dr. Edy Sukardi tidak sekadar menulis tentang cinta lama, tetapi tentang keberanian untuk tetap menghargai masa lalu di tengah dorongan untuk melangkah ke masa depan.

Di usia senja, ketika banyak orang menganggap cinta sebagai urusan muda, penyair justru mengangkatnya sebagai ruang kontemplasi dan spiritualitas.

Puisi ini menyentuh sisi terdalam dari manusia: bahwa kenangan bukan beban, melainkan warisan jiwa.

Bahwa cinta yang pernah tumbuh, meski telah berlalu, tetap hidup dalam bentuk pelajaran, harapan, dan ketenangan.

Bahkan ketika harus memilih kembali, penyair tidak mengabaikan jejak-jejak yang telah membentuknya.

Kisah Rasulullah yang tetap menyediakan piring untuk Khadijah, meski telah bersama Aisyah, menjadi simbol agung tentang cinta yang tidak terhapus oleh waktu.

Ini bukan nostalgia kosong, melainkan penghormatan terhadap nilai dan makna yang telah tertanam.

Dalam konteks sosial, puisi ini mengajak kita untuk lebih bijak dalam memandang pilihan hidup orang lain.

Tidak semua keputusan harus didorong oleh logika praktis atau tekanan sosial. Ada ruang bagi hati, kenangan, dan spiritualitas untuk berbicara.

Sebagai masyarakat, kita perlu membuka ruang empati bagi mereka yang memilih untuk tetap mengenang, untuk tetap setia pada nilai-nilai yang pernah hidup dalam dirinya. Karena seperti kata penyair, “Kenangan itu memang ada”—dan ia layak dihormati, bukan dilupakan.

Kenangan itu memang ada

oleh ESu

Tema dan Makna

Puisi ini mengangkat tema cinta lama, kenangan, dan pencarian ketenangan di usia senja.

Melalui ungkapan yang jujur dan reflektif, penyair menyampaikan bahwa cinta yang pernah tumbuh tidak mudah digantikan. Kenangan bersama pasangan terdahulu menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup, bahkan ketika harus membuka lembaran baru.

Puisi ini juga menyentuh sisi spiritual dan sosial, dengan menyisipkan kisah Rasulullah dan Khadijah sebagai simbol cinta yang abadi dan penuh makna.

Ada pesan bahwa mengenang masa lalu bukanlah bentuk kelemahan, melainkan penghormatan terhadap perjalanan hidup.

Gaya Bahasa

  • Bahasa lugas dan reflektif: Pilihan kata sederhana namun sarat makna, seperti “tak se enteng yang diucapkan nikah lagi” atau “Tuhan menciptakan dia hanya seorang”.
  • Penggunaan repetisi: Frasa seperti “sisi kiri dan kanan, sisi depan dan belakang” memperkuat kesan kompleksitas dalam mengambil keputusan.
  • Intertekstualitas: Referensi pada kisah Rasulullah, Aisyah, dan Khadijah memberi dimensi religius dan historis yang memperkaya makna puisi.

Nuansa dan Emosi

Puisi ini penuh dengan nuansa melankolis, kontemplatif, dan spiritual. Ada rasa kehilangan, keraguan, dan harapan yang berpadu dalam satu alur naratif.

Penyair tidak hanya berbicara tentang cinta, tetapi juga tentang pilihan hidup, dukungan sosial, dan pencarian damai batin.

Puisi ini sangat relevan bagi mereka yang pernah mengalami kehilangan pasangan, atau berada di persimpangan hidup untuk memilih kembali.

Ia mengajak pembaca untuk tidak mengabaikan kenangan, tetapi menjadikannya bagian dari proses menerima dan melangkah.

Editor : Akhlanudin

Artikel Terkait

Inshot 20251112 022450932

Pemerintah Kabupaten Belitung Buka Program…

intisari Berita Tanjungpandan, 12 November 2025…

Inshot 20251112 003257471

Puisi Puisi Edy Sukardi

Panen ESu Bulan nopemberdan Desemberdi negrikumusim…

Inshot 20251112 001835381

Bahasa yang Tak Bisa Berbohong:…

Puisi “Membaca Rahasia Hati ESu” karya…

Kenangan, Cinta, dan Keteguhan di Senja Hari – Media Daulat Rakyat