
Dalam puisi “Debu” yang dimuat oleh Media Daulat Rakyat pada 17 Oktober 2025, Edy Sukardi tidak sekadar menulis bait-bait indah. Ia menulis cermin. Cermin yang buram oleh debu, oleh dosa, oleh kebajikan yang tak ikhlas. Dan kita semua, katanya, adalah debu.
Puisi ini bukan sekadar karya sastra. Ia adalah panggilan untuk membersihkan hati, untuk bertobat, untuk kembali jernih dalam menimbang dan memutuskan.
Dalam dunia yang semakin gaduh oleh ambisi, oleh pencitraan, oleh kebajikan yang dipamerkan, Edy Sukardi mengingatkan: kebajikan tanpa keikhlasan hanyalah debu di atas batu licin. Sekali hujan turun, lenyap tak berbekas.
Sebagai mantan pemimpin daerah dan penggiat etika publik, saya melihat puisi ini sebagai kritik halus terhadap budaya birokrasi dan sosial kita. Terlalu banyak keputusan yang diambil tanpa kejernihan hati. Terlalu banyak program yang dijalankan tanpa istigfar. Terlalu banyak kaca yang buram, dan terlalu sedikit yang mau menggosoknya.
Edy Sukardi mengajak kita untuk mengambil “benda pipih” — metafora yang bisa berarti introspeksi, kejujuran, atau keberanian — untuk mengerik debu dari kaca hati kita. Agar kita kembali bisa melihat dengan jernih. Menimbang dengan adil. Memutuskan dengan bijak.
Dan akhirnya, ia menutup dengan pengakuan yang merendahkan ego: “Engkau dan aku adalah debu.”
Sebuah pengingat bahwa jabatan, gelar, dan pencapaian tak lebih dari partikel kecil dalam sejarah semesta. Yang abadi hanyalah keikhlasan.
Puisi: Debu oleh ESu
Identitas Karya
- Judul: Debu
- Pengarang: ESu
- Tanggal: 17 Oktober 2025
- Tempat: Malang
Tema dan Makna
Puisi ini mengangkat tema spiritualitas dan refleksi diri, dengan debu sebagai metafora utama. Debu melambangkan kefanaan, dosa, dan kekotoran batin yang menempel tanpa disadari. Melalui citra kaca yang buram, penyair mengajak pembaca untuk membersihkan hati dari noda dan dosa melalui istigfar dan tobat.
Gaya Bahasa dan Simbolisme
- Metafora: Debu sebagai simbol manusia, dosa, dan kebajikan yang tak ikhlas.
- Simile: “Kebajikan tanpa keikhlasan umpama debu yang menempel pada batu licin.”
- Personifikasi: Kaca yang “menjadi buram” seolah memiliki perasaan.
- Repetisi: Pengulangan kata “debu” memperkuat pesan dan suasana kontemplatif.
Pesan Moral
- Manusia berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.
- Kebajikan tanpa keikhlasan tak akan bertahan; seperti debu yang hanyut oleh hujan.
- Hati yang kotor perlu dibersihkan dengan istigfar dan tobat, sebagaimana kaca yang buram perlu digosok agar kembali jernih.
Refleksi
Puisi ini bukan sekadar renungan, tapi juga ajakan untuk introspeksi. ESu menyentuh sisi terdalam spiritualitas manusia dengan bahasa sederhana namun penuh makna. Ia mengingatkan bahwa kita semua adalah debu, dan hanya keikhlasan yang membuat amal kita bermakna.
Editor: Akhlanudin












