
Dalam puisi “Ia Terus Berlari”, Dr. H. Edy Sukardi menghadirkan sosok pelari maraton sebagai metafora perjuangan hidup yang tak kenal henti. Ia sudah “duduk di papan atas”, namun tak berhenti. Ia terus berlari, bukan karena ambisi kosong, melainkan karena panggilan untuk terus meningkatkan citra diri dan memberi makna lebih dalam pada keberhasilan.
Puisi ini bukan sekadar motivasi. Ia adalah refleksi sosial. Bahwa dalam dunia yang kerap mengukur sukses dari pencapaian materi dan jabatan, ada jiwa-jiwa yang memilih tetap bergerak, tetap melangkah, karena sadar: keberhasilan bukanlah garis akhir.
Kita diajak merenung: apakah kita ingin menjadi besar dan menjulang, atau kecil tapi menawan? Pilihan ini bukan soal benar atau salah, melainkan soal kejujuran terhadap diri sendiri.
Dalam dunia pembangunan dan advokasi, saya sering melihat para nelayan, guru desa, dan pengrajin lokal yang memilih “kecil tapi indah”—mereka tak viral, tapi berdampak.
Puisi ini juga menyentuh solidaritas: “di ujung kesulitan, ada saja sahabat yang mengulurkan tangan.” Sebuah pengingat bahwa dalam kerja sosial, kolaborasi adalah kunci.
Mereka yang kini “besar dan menggurita” pun dulunya berangkat dari bawah. Dari ketekunan. Dari kesungguhan.
Saya melihat puisi ini sebagai panggilan untuk terus berlari di jalan pengabdian. Bukan demi citra, tapi demi makna. Demi masyarakat yang menunggu uluran tangan. Demi perubahan yang tak selalu gemerlap, tapi selalu nyata.
Identitas Karya
- Judul: Ia Terus Berlari
- Penulis: ESu
- Tanggal: Malang, 18 Oktober 2025
- Jenis: Puisi reflektif-motivatif
Tema dan Makna
Puisi ini mengangkat tema tentang ketekunan, ambisi, dan pilihan hidup. Tokoh sentral digambarkan sebagai “pelari maraton” yang terus berlari meski telah mencapai “papan atas”—simbol keberhasilan. Namun, ia tak berhenti, seolah garis finish bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan baru.
Puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenungkan pilihan hidup: apakah ingin menjadi besar dan menjulang, atau memilih jalan kecil yang indah dan menawan. Keduanya sah, asalkan dijalani dengan tekun dan sepenuh hati.
Gaya Bahasa dan Struktur
- Metafora kuat: “Pelari maraton” sebagai simbol perjuangan tanpa henti.
- Pertanyaan retoris: Menggugah pembaca untuk memilih arah hidupnya sendiri.
- Diksi sederhana namun tajam: “lelah pastilah, tetapi jangan menyerah” menyentuh sisi emosional dan realistis perjuangan.
- Struktur bebas: Tidak terikat rima, namun tetap ritmis dan mengalir.
Nilai Reflektif
Puisi ini menyimpan pesan mendalam tentang:
- Konsistensi dan kerja keras: Bahwa keberhasilan bukanlah titik akhir.
- Pilihan hidup yang sah dan bermakna: Tidak semua harus menjadi besar untuk menjadi berarti.
- Solidaritas sosial: Di tengah kesulitan, selalu ada tangan sahabat yang siap membantu.
Relevansi
Karya ini sangat relevan bagi siapa pun yang sedang berjuang, baik dalam karier, pendidikan, maupun kehidupan pribadi. Ia memberi semangat, sekaligus ruang refleksi untuk menentukan arah hidup yang sesuai dengan nilai dan kemampuan masing-masing.
editor: Akhlanudin












