Intisari berita
- Garuda Indonesia dan Kereta Cepat Whoosh sama-sama terlilit utang besar (masing-masing Rp 185 triliun dan Rp 120 triliun).
- Whoosh terhambat kontroversi korupsi dan pertanyaan kelanjutan proyek, sementara Garuda berjuang melawan masalah internal dan ancaman kebangkrutan.
- Pemerintah berupaya menyelamatkan keduanya dengan suntikan dana, restrukturisasi utang, dan menyiapkan Pelita Air sebagai opsi pengganti Garuda.
- Masa depan keduanya bergantung pada kemampuan mengatasi utang dan korupsi.
Jakarta, 3 November 2025 – Dua proyek kebanggaan Indonesia, maskapai Garuda Indonesia dan Kereta Cepat Whoosh, kini tengah menghadapi masalah serius akibat beban utang yang menggunung. Analis Kebijakan Transportasi, Azas Tigor Nainggolan, mengungkapkan kekhawatiran atas kondisi ini.
Kereta Cepat Whoosh, yang digadang-gadang sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia, kini menanggung utang sebesar Rp 120 triliun kepada pihak China.
Lebih jauh, proyek ini juga diwarnai kontroversi dugaan korupsi dalam proses pembangunannya, yang memicu pertanyaan tentang kelanjutan proyek hingga Surabaya, sesuai rencana awal.
“Muncul berbagai pendapat yang mempertanyakan, apakah Whoosh sebaiknya berhenti di Bandung saja? Atau tetap melanjutkan pembangunan hingga Surabaya?” ujar Azas Tigor Nainggolan.
Utang sebesar itu, menurutnya, menjadi beban berat yang bisa menghambat pengembangan lebih lanjut.
Sementara itu, nasib serupa juga menghantui maskapai penerbangan nasional, Garuda Indonesia. Dengan utang mencapai Rp 185 triliun, Garuda terjerat berbagai masalah, mulai dari dugaan korupsi dalam penyewaan pesawat, pengadaan suku cadang, hingga tata kelola makanan untuk penumpang. Bahkan, maskapai ini sempat berada di ambang kebangkrutan dan pembubaran.
Pemerintah tak tinggal diam. Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) berupaya memberikan suntikan dana sebesar Rp 30 triliun melalui mekanisme private placement. Selain itu, pemerintah juga menghidupkan kembali maskapai Pelita Air sebagai langkah antisipasi jika Garuda terpaksa harus berhenti beroperasi.
“Pelita Air diharapkan bisa menjadi pengganti Garuda, yang selama ini tergerogoti oleh praktik korupsi,” tegas Azas. Ia menambahkan, banyak pihak yang memanfaatkan Garuda untuk kepentingan pribadi, hingga akhirnya maskapai ini terperosok dalam utang yang sangat besar.
Untuk meringankan beban, pemerintah telah menegosiasikan perpanjangan waktu pembayaran utang Whoosh hingga 60 tahun, dengan cicilan sebesar Rp 2 triliun per tahun mulai tahun 2026. Sementara untuk Garuda, kesepakatan penundaan pembayaran utang telah dicapai dengan sejumlah kreditur hingga 30 tahun ke depan.
Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: mampukah Garuda Indonesia dan Whoosh bertahan di tengah badai utang ini? Nasib kedua proyek strategis ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dan manajemen perusahaan dalam melakukan restrukturisasi dan memberantas praktik korupsi yang selama ini menghantui.
“Kita berharap, setelah 30 tahun nanti, ada mekanisme pembayaran utang yang baik, sehingga tidak menghancurkan mitra bisnis mereka,” pungkas Azas Tigor Nainggolan.












