
Dedi Hernandie pemilik perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Padang, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung menyampaikan klarifikasi soal tudingan kebun sawit pribadi miliknya masuk dalam kawasan Hutan Lindung Pantai (HLP) seperti yang ramai diberitakan.
“Bukan saya yang mengubah kawasan hutan menjadi kebun tapi kebun saya yang disulap menjadi kawasan hutan lindung,” katanya di Tanjungpandan, Sabtu.
Demikian disampaikan dalam kegiatan konferensi pers bersama awak media terkait ramainya pemberitaan yang menyebutkan kebun sawit pribadi miliknya di Desa Sungai Padang, Kecamatan Sijuk masuk dalam kawasan hutan.
Dedi mengatakan sudah menetap di kawasan tersebut sejak bertahun-tahun dan membantah telah mengubah status kawasan hutan menjadi kebun kelapa sawit pribadi miliknya.
Diri nya malah heran kebun miliknya pribadi yang tiba-tiba disulap menjadi kawasan hutan lindung tanpa adanya pemberitahuan.
“Saya sangat berterima kasih kepada pihak Kejaksaan Negeri Belitung karena sudah membuka kasus ini. Tapi tolong, jangan biarkan berita yang tidak benar berkembang. Bukan saya yang menyulap hutan lindung jadi kebun, tapi kebun saya yang disulap jadi hutan lindung,” ujarnya.
Dirinya menjelaskan, semuanya bermula dari keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK 357/Menhut-II/2004 pada 1 Oktober 2004 yang merevisi batas kawasan hutan.
Revisi ini, lanjut dia, membuat sebagian kebun kelapa sawit miliknya yang telah ia tanam sejak 2002 tiba-tiba masuk dalam peta kawasan HLP.
Tak berhenti di situ, pada tahun 2012, muncul lagi SK No. 789/Menhut-II/2012 yang kembali mengubah peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Bangka Belitung.
“Bayangkan, puluhan tahun saya tinggal di sana. Lalu suatu hari, tanpa surat, tanpa pemberitahuan, tempat tinggal dan kebun keluarga saya malah diklaim jadi kawasan hutan lindung oleh pemerintah,” katanya.
Dedi mengaku telah menunggu penjelasan resmi dari pemerintah selama puluhan tahun namun yang dirinya dapatkan hanyalah tudingan sepihak.
“Tahun 2016 saya malah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Babel. Tapi saya tidak tinggal diam. Saya datangkan saksi ahli kehutanan dan dia pun heran masak kawasan hutan lindung bisa ada kompleks pemakaman di dalamnya,” ujarnya.
Ia menegaskan, berdasarkan aturan, HLP adalah kawasan suci yang tak boleh diganggu sedikit pun bahkan mematahkan dahan pohon pun juga dilarang.
Namun di lokasi tersebut justru terdapat makam warga yang seharusnya membuktikan bahwa wilayah itu sudah lama dihuni dan dikelola masyarakat jauh sebelum ditetapkan sebagai hutan lindung.
“Jangan jadikan rakyat sebagai korban. Saya lahir di situ, besar di situ, sekolah di situ. Semua orang tahu siapa saya dan bagaimana sejarah kebun itu,” katanya.
Bahkan persoalan ini sempat menyeretnya ke proses hukum, namun setelah melalui proses panjang, Polda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 2016 menghentikan penyidikan terhadap dirinya.
Dalam surat ketetapan No. S.TAP/11/IX/2016/Ditreskrimsus Polda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dinyatakan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan dan keterangan saksi serta ahli pidana tidak ditemukan cukup bukti yang menyatakan telah terjadi tindak pidana.
“Jadi sudah jelas, saya tidak bersalah. Yang terjadi justru kebun saya yang diambil alih secara sepihak dan dijadikan kawasan hutan lindung,” ujarnya.