Media Daulat Rakyat

  • Home
  • Nasional
  • Puisi Edy Sukardi: Ketika Kata Menjadi Senjata Nurani
1759868502419

Puisi Edy Sukardi: Ketika Kata Menjadi Senjata Nurani

Inshot 20251008 031306110

Di tengah derasnya arus informasi dan riuhnya panggung politik, puisi-puisi Edy Sukardi hadir sebagai ruang kontemplatif yang menolak tunduk pada kebisingan. Ia tidak berteriak, tapi menggema.

Ia tidak menggurui, tapi menyentuh. Dalam bait-baitnya, kita menemukan keberanian untuk berkata jujur, untuk menatap luka bangsa, dan untuk bertanya: “Apakah kita masih punya nurani?”

Puisi Suaka, misalnya, bukan sekadar kritik terhadap mereka yang mencari perlindungan dari jerat hukum atau amuk massa. Ia adalah refleksi spiritual yang menggugat: perlindungan macam apa yang kau cari, jika bukan dari kejujuran dan pertobatan?

ESu menyandingkan kuasa dunia yang terbatas dengan perlindungan ilahi yang hanya diberikan kepada mereka yang tulus, adil, dan taat. Ini bukan sekadar sastra, tapi dakwah yang halus namun tajam.

Sastra Sebagai Perlawanan Etis

Dalam tradisi sastra Indonesia, puisi telah lama menjadi medium perlawanan. Chairil Anwar, W.S. Rendra, hingga Taufiq Ismail menggunakan puisi untuk menggugat ketidakadilan dan membela suara rakyat.

Edy Sukardi melanjutkan tradisi ini, namun dengan pendekatan yang lebih spiritual dan reflektif.

Ia tidak hanya bicara tentang dosa sosial, tapi juga tentang pertobatan personal. Ia mengajak pembaca untuk tidak hanya menuntut keadilan, tapi juga menjadi bagian dari keadilan itu sendiri.

Relevansi di Tengah Krisis Moral

Di era ketika banyak pemimpin berlindung di balik kekuasaan, puisi-puisi seperti Suaka menjadi pengingat bahwa tidak ada tempat berlindung dari kebenaran.

Kita hidup di zaman ketika hukum bisa dibengkokkan, opini bisa dibeli, dan rakyat bisa dilupakan.

Tapi puisi tidak bisa dibungkam. Ia menyimpan suara-suara yang tak terdengar, jeritan yang tak terucap, dan harapan yang nyaris padam.

Puisi Edy Sukardi mengajak kita untuk kembali pada nilai-nilai dasar: kejujuran, keadilan, dan ketulusan. Ia menolak kompromi terhadap kebusukan yang dibungkus retorika.

Ia menuntut kita untuk jujur pada diri sendiri, pada sejarah, dan pada rakyat yang sering kali menjadi korban dari permainan elit.

Dari Sastra ke Aksi Publik

Puisi-puisi ini layak diangkat ke ruang publik: dijadikan editorial media, dibacakan dalam forum-forum kebangsaan, atau diadaptasi menjadi infografik dan konten edukatif.

Mereka bukan hanya karya sastra, tapi juga alat pendidikan moral dan sosial.

Dalam dunia yang semakin bising oleh propaganda, puisi menjadi ruang sunyi yang justru paling lantang.

Puisi: Suaka oleh ESu

Identitas Karya

  • Judul: Suaka
  • Penulis: ESu
  • Tanggal: 7 Oktober 2025
  • Tempat: Pisangan Timur

Tema dan Makna
Puisi Suaka menggugah kesadaran akan makna perlindungan sejati.

Dalam bait-baitnya, ESu menyuarakan kritik tajam terhadap mereka yang mencari perlindungan bukan karena ketulusan, melainkan karena ketakutan menghadapi konsekuensi atas dosa dan kezaliman.

Puisi ini menyoroti ketidakberdayaan kuasa duniawi dalam menghadapi keadilan hakiki, serta mengingatkan bahwa hanya golongan tertentu yang akan mendapat perlindungan di akhirat.

Struktur dan Gaya Bahasa

  • Gaya Retoris: Pertanyaan-pertanyaan retoris seperti “Kau mau minta suaka pada siapa?” menggiring pembaca untuk merenung, bukan sekadar membaca.
  • Nada Tegas dan Reflektif: Nada puisi ini tegas, bahkan menghardik, namun tetap mengandung ajakan reflektif.
  • Simbolisme: “Mentari sejengkal di atas kepala” melambangkan hari kiamat atau saat penghakiman, ketika segala kebohongan terbongkar.
  • Penggunaan Repetisi: Frasa “kau mau cari suaka ke mana” diulang sebagai penutup yang menggema, memperkuat pesan moral. Nilai Spiritual dan Etis
    Puisi ini berpuncak pada pengingat tentang tujuh golongan yang mendapat perlindungan di hari akhir, merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW. Ini bukan sekadar puisi, melainkan dakwah dalam bentuk sastra. ESu mengajak pembaca untuk menakar diri: apakah kita termasuk golongan yang dilindungi? Refleksi dan Relevansi
    Dalam konteks sosial-politik, puisi ini bisa dibaca sebagai kritik terhadap para pemimpin atau tokoh yang lari dari tanggung jawab.

Namun, secara universal, puisi ini menyentuh siapa pun yang pernah merasa bersalah dan mencari jalan keluar. Perlindungan sejati bukanlah dari kuasa dunia, melainkan dari amal dan keikhlasan.

editor: Akhlanudin

Artikel Terkait

Inshot 20251112 152357756

Koruban Gelar Diskusi Kepemimpinan Bangka…

Intisari Berita Belitung –Komite Reformasi untuk…

Inshot 20251112 022450932

Pemerintah Kabupaten Belitung Buka Program…

intisari Berita Tanjungpandan, 12 November 2025…

Inshot 20251112 003257471

Puisi Puisi Edy Sukardi

Panen ESu Bulan nopemberdan Desemberdi negrikumusim…

Puisi Edy Sukardi: Ketika Kata Menjadi Senjata Nurani – Media Daulat Rakyat