
Dalam tradisi Sunda, aqiqah, yang dikenal juga sebagai Ekahan, adalah upacara adat untuk memanjatkan rasa syukur atas kelahiran anak.
Upacara ini umumnya dilakukan pada hari ketujuh, keempat belas, atau kedua puluh satu setelah bayi lahir.
Sembelihan dilakukan dengan ketentuan dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Daging kambing yang disembelih kemudian dimasak dan dibagikan kepada tetangga dan kerabat sebagai bentuk berbagi kebahagiaan.
Sebelum pelaksanaan aqiqah, keluarga akan melakukan beberapa persiapan seperti memilih hewan yang sesuai syariat Islam (sehat dan tidak cacat), mengumpulkan sanak saudara untuk menghadiri acara tersebut, dan menghadirkan ustadz untuk memimpin doa dan tahlilan sebagai bagian dari rangkaian acara.

Dalam pelaksanaannya, bayi digendong oleh ayahnya dan dibawa berjalan mengelilingi orang-orang yang sedang membaca sholawat, dan cukur sedikit rambutnya oleh tokoh agama setempat.
Aqiqah dalam masyarakat Sunda bukan sekadar ritual keagamaan, tetapi juga sarana mempererat hubungan sosial dan mempererat tali silaturahmi. Pembagian daging aqiqah kepada orang lain mencerminkan kepedulian sosial, terjalin rasa persaudaraan dan semangat berbagi yang tinggi.
Selain itu, aqiqah juga mengandung nilai pendidikan bagi anak yang baru lahir dan keluarganya, yaitu pentingnya rasa syukur dan berbagi rezeki.
Selain penyembelihan hewan, tradisi aqiqah juga melibatkan pencukuran rambut bayi. Rambut yang dicukur kemudian ditimbang, dan seberat rambut tersebut, keluarga memberikan sedekah dalam bentuk emas atau uang kepada yang membutuhkan.
Simbolisasi ini mengandung makna bahwa anak yang lahir membawa berkah dan keluarga wajib mensyukuri serta berbagi rezeki tersebu