
Puisi “Ca ca” bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah pertunjukan batin yang menggugah kesadaran kolektif.
Edy Sukardi menghadirkan panggung yang hidup, di mana cahaya, musik, dan tokoh-tokoh tradisional bersatu dalam irama “ca ca” yang repetitif dan magis. Irama ini bukan hanya pengikat suasana, tapi juga simbol gerak sejarah dan peran sosial.
Yang menarik, tokoh-tokoh yang masuk ke panggung bukan tokoh asing: serdadu, punakawan, hulubalang, naga, pangeran, ibu suri, hingga sang pahlawan.
Mereka adalah representasi dari lapisan masyarakat dan nilai-nilai budaya Nusantara. Kehadiran mereka dalam irama “ca ca” menunjukkan bahwa identitas kita dibentuk oleh harmoni antara tradisi dan dinamika zaman.
Puncak puisi terjadi saat sang pahlawan muncul dan penonton berdiri, bertepuk tangan panjang, bahkan histeris.
Ini bukan sekadar klimaks artistik, tapi juga refleksi tentang harapan publik terhadap figur pemimpin yang mampu menyatukan, menghidupkan, dan memberi makna pada “panggung” kehidupan bersama.
Namun, yang paling menyentuh adalah bagian akhir: pertunjukan telah usai, lampu menyala, penonton boleh pulang—tapi mereka enggan beranjak.
Ini adalah metafora tentang keterikatan emosional terhadap nilai-nilai luhur, terhadap pertunjukan yang bukan hanya hiburan, tapi pengalaman spiritual dan sosial.
Dalam konteks sosial-politik hari ini, puisi “Ca ca” bisa dibaca sebagai seruan halus agar kita tidak melupakan panggung kebudayaan, tokoh-tokoh lokal, dan irama kolektif yang membentuk bangsa.
Kita butuh “ca ca” yang membahana—bukan hanya di teater, tapi juga di ruang publik, di kebijakan, dan di hati masyarakat.
Puisi “Ca ca” – Esu
Latar dan Nuansa
Puisi “Ca ca” menghadirkan atmosfer pertunjukan teater yang dinamis dan penuh kejutan.
Dimulai dengan suasana redup dan hening, puisi ini membangun ketegangan yang perlahan meledak menjadi kemeriahan panggung. Irama “ca ca” menjadi motif musikal sekaligus simbol transisi, menyatukan berbagai elemen pertunjukan: musik, tarian, tokoh-tokoh, dan emosi penonton.
Struktur dan Alur
Puisi ini memiliki struktur naratif yang teatrikal:
- Pembukaan: Lampu meredup, panggung gelap, suasana menunggu.
- Klimaks: Musik “ca ca” membahana, tokoh-tokoh masuk silih berganti—serdadu, punakawan, hulubalang, naga, pangeran, ibu suri.
- Puncak Emosi: Sang pahlawan muncul, penonton berdiri, tepuk tangan panjang, histeria.
- Penutup: Lampu menyala, pertunjukan usai, namun penonton enggan pulang—menandakan dampak emosional yang mendalam.
Makna dan Refleksi
“Ca ca” bukan sekadar irama, melainkan denyut kehidupan panggung dan simbol pergerakan kolektif. Kehadiran tokoh-tokoh tradisional seperti punakawan dan naga putih/hijau memberi warna lokal dan nuansa mitologis.
Sang pahlawan yang muncul di akhir menjadi representasi harapan, kepemimpinan, atau bahkan refleksi dari penonton sendiri.
Puisi ini juga menyiratkan bahwa pertunjukan bukan hanya hiburan, melainkan pengalaman spiritual dan sosial. Penonton yang enggan pulang menunjukkan keterikatan emosional yang kuat—sebuah pertunjukan yang menyentuh batin.
Gaya Bahasa dan Imaji
- Repetisi “ca ca” menciptakan ritme yang mengalir dan menggugah.
- Imaji visual kuat: lampu, panggung, penari, naga, pahlawan.
- Diksi sederhana namun efektif, membangun suasana tanpa berlebihan.
Penutup
“Ca ca” adalah puisi yang menggabungkan seni pertunjukan, tradisi, dan emosi kolektif dalam satu tarikan napas.
Esu berhasil menciptakan karya yang bukan hanya bisa dibaca, tapi juga bisa dirasakan dan dibayangkan sebagai pertunjukan nyata.
Puisi ini cocok untuk direnungkan dalam konteks kebudayaan, kepemimpinan, dan daya magis seni.
editor : Akhlanudin












