Media Daulat Rakyat

  • Home
  • Nasional
  • Menjadi Dua Tangan, Bukan Dua Telinga: Refleksi Etika Relasi dari Puisi Edy Sukardi
Inshot 20251014 003624669

Menjadi Dua Tangan, Bukan Dua Telinga: Refleksi Etika Relasi dari Puisi Edy Sukardi

Inshot 20251014 003155276

Dalam dunia yang kerap gaduh oleh simbol dan seremoni, puisi “Seperti Dua Tangan” karya Edy Sukardi hadir sebagai nasihat sunyi yang menggugah. Ia tidak berteriak, tetapi menyentuh.

Ia tidak menggurui, tetapi mengajak merenung. Melalui metafora sederhana—tangan dan telinga—puisi ini menyampaikan etika relasi yang mendalam: bahwa hidup berpasangan bukan sekadar kebersamaan, melainkan kerja sama yang aktif, saling menguatkan, dan saling memuliakan.

Tangan: Simbol Relasi yang Hidup
Tangan kanan dan kiri dalam puisi ini bukan hanya bagian tubuh, melainkan lambang dari dua individu yang memilih untuk berjalan bersama.

Mereka tidak identik, tetapi saling melengkapi. Mereka tidak bersaing, tetapi berbagi peran. Bahkan ketika ada hadiah, tangan kanan berkata kepada tangan kiri: “kau sajalah yang mengenakan.” Inilah cinta yang matang—yang tidak menghitung untung rugi, tetapi memberi ruang bagi yang lain untuk bersinar.

Telinga: Dekat Tapi Tak Pernah Bersentuhan
Sebaliknya, telinga menjadi simbol relasi yang pasif. Meski dekat secara fisik, mereka tidak pernah saling menyapa, apalagi berpelukan. Ini sindiran halus terhadap relasi yang hanya tampak harmonis di permukaan, tetapi sejatinya dingin dan terasing.

Sebuah pengingat bahwa kedekatan fisik tidak selalu berarti kedekatan batin.

Nasihat Abah: Lintas Generasi
Bagian akhir puisi berubah menjadi petuah seorang ayah kepada anaknya yang baru menikah.

Singkat, tetapi sarat makna. Ia tidak menawarkan teori rumah tangga, tetapi mengajak untuk meneladani tangan—yang saling mengelus, menggaruk, memijit, dan memuliakan.

Bahkan kepada “pengantin lama,” ia menyelipkan ajakan halus untuk kembali mengenang masa-masa indah, agar cinta tidak menjadi rutinitas yang hambar.

Menghidupkan Etika Relasi
Dalam konteks sosial yang kerap menempatkan relasi sebagai transaksi atau formalitas, puisi ini mengajak kita kembali ke akar: bahwa relasi adalah ruang untuk saling merawat.

Bahwa cinta bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi, mengalah, dan memuliakan. Bahwa menjadi pasangan bukan berarti menjadi satu, tetapi menjadi dua yang saling menguatkan.


Puisi ini bukan sekadar karya sastra, tetapi etika hidup. Ia layak dibacakan di pelaminan, direnungkan dalam sunyi, dan diamalkan dalam keseharian.

Sebab dalam dunia yang penuh telinga, kita butuh lebih banyak tangan—yang saling menggenggam, bukan hanya mendengar.

Puisi: Seperti Dua Tangan oleh ESu

Tema dan Makna
Puisi ini mengangkat tema tentang keharmonisan dan kerja sama dalam kehidupan berpasangan, khususnya dalam pernikahan.

Melalui metafora dua tangan—kiri dan kanan—penulis menyampaikan pesan mendalam tentang saling melengkapi, saling membantu, dan saling memuliakan. Tangan menjadi simbol ideal relasi yang aktif, serasi, dan penuh kasih, berbeda dengan telinga yang meski dekat, tak pernah saling menyapa.

Gaya Bahasa dan Struktur

  • Metafora kuat: Tangan sebagai lambang pasangan yang saling mendukung, sementara telinga menjadi simbol relasi yang pasif dan terpisah.
  • Rima dan irama: Meski bebas, puisi ini memiliki alur yang mengalir lembut, dengan repetisi kata “saling” yang memperkuat nuansa kebersamaan.
  • Nada reflektif dan nasihat: Di bagian akhir, puisi berubah menjadi petuah seorang ayah kepada anaknya yang baru menikah, serta ajakan kepada pasangan lama untuk mengenang masa indah.

Nilai dan Pesan

  • Kehidupan berpasangan: Pernikahan bukan sekadar kebersamaan fisik, tetapi juga kerja sama aktif dan saling menghargai.
  • Kesetaraan dan pengorbanan: Tangan kanan rela memberikan hadiah kepada tangan kiri, simbol keikhlasan dan cinta.
  • Pentingnya nostalgia: Menghadiri akad nikah menjadi cara untuk menghidupkan kembali semangat cinta dan komitmen.

Refleksi
Puisi ini menyentuh hati dengan kesederhanaannya. Ia tidak hanya berbicara tentang cinta, tetapi juga tentang etika relasi, tentang bagaimana menjadi pasangan yang saling menguatkan.

Dalam konteks budaya Indonesia, nasihat abah menjadi suara kebijaksanaan yang akrab dan penuh makna.

editor: Akhlanudin

Artikel Terkait

Inshot 20251112 160445837

Puisi Puisi Edy Sukardi

Buka Pintu Pagarmu Mengapa hidup terasa…

Inshot 20251112 003153552

Puisi-Puisi Edy Sukardi: Panen Dunia…

Bogor, daulatrakyatco.co.id – DR. H. Edy…

Inshot 20251112 152357756

Koruban Gelar Diskusi Kepemimpinan Bangka…

Intisari Berita Belitung –Komite Reformasi untuk…

Menjadi Dua Tangan, Bukan Dua Telinga: Refleksi Etika Relasi dari Puisi Edy Sukardi – Media Daulat Rakyat