
Puisi “Membaca Pagi” karya DR. H. Edy Sukardi, M.Pd., bukan sekadar rangkaian kata indah tentang rutinitas pagi. Ia adalah seruan reflektif yang mengajak kita membaca ulang arah hidup, arah bangsa, dan arah spiritualitas kita sebagai manusia Indonesia.
Bangun lebih awal, kata sang penyair, adalah cara memperpanjang hidup. Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba cepat, puisi ini mengingatkan bahwa ketenangan dan kesadaran justru lahir dari pagi yang dijalani dengan doa, sapaan, dan secangkir kopi hangat.
Ada keintiman domestik yang menyentuh: nasi goreng teri buatan istri, lamunan-lamunan, dan mimpi yang belum terlaksana. Semua itu bukan nostalgia, tapi bahan bakar untuk melangkah.
Yang paling menggugah adalah ajakan untuk tidak terlalu banyak pertimbangan dalam mengambil keputusan. “Tok, putuskan,” tulis Edy Sukardi. Ini bukan sekadar gaya bahasa, tapi kritik halus terhadap budaya ragu-ragu, birokrasi berbelit, dan ketakutan menghadapi risiko.
Dalam konteks pembangunan, pendidikan, dan kepemimpinan, pesan ini relevan: kita butuh keberanian untuk melangkah, bukan hanya wacana.
Puisi ini juga menyentuh spiritualitas yang membumi. Membaca pagi dimulai dari kitab suci, lalu menyapa kanan kiri.
Ada keseimbangan antara vertikal dan horizontal, antara Tuhan dan sesama. Di sinilah letak kekuatan puisi ini: ia tidak hanya mengajak kita membaca pagi, tapi membaca nilai-nilai hidup yang sering kita abaikan.
Sebagai bangsa, kita perlu lebih banyak “membaca pagi” — bukan hanya sebagai waktu, tapi sebagai sikap.
Sikap untuk memulai dengan doa, melangkah dengan tekad, dan menata masa depan dengan peta jalan yang jelas.
Dalam dunia yang penuh persimpangan, puisi ini adalah kompas.
Bismillah. Mari kita melangkah.
“Membaca Pagi” oleh ESu
Gambaran Umum
Puisi “Membaca Pagi” karya ESu adalah refleksi puitis tentang makna dan kekuatan pagi sebagai momentum spiritual, emosional, dan praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Ditulis dengan gaya naratif yang mengalir, puisi ini mengajak pembaca untuk menyelami ritme pagi yang penuh harapan, kesadaran, dan dorongan untuk bertindak.
Tema dan Makna
Puisi ini mengusung tema:
- Kesadaran waktu: Bangun pagi digambarkan sebagai cara memperpanjang hidup dan memperluas ruang siang.
- Spiritualitas dan kebersamaan: Doa sebelum fajar, tegur sapa di mushalla, dan kebersamaan dengan istri menjadi bagian dari ritual pagi yang bermakna.
- Harapan dan cita-cita: Ada “setumpuk ingin” dan “langkah-langkah wujudkan mimpi” yang menyiratkan semangat untuk terus bergerak.
- Keberanian mengambil keputusan: Ajakan untuk tidak terlalu banyak pertimbangan dan segera melangkah menunjukkan dorongan untuk bertindak.
- Kebijaksanaan hidup: “Gunakan peta jalan” dan “jangan ragu saat ada persimpangan” adalah metafora tentang navigasi kehidupan.
Gaya Bahasa dan Struktur
- Bahasa sederhana namun reflektif: ESu menggunakan diksi yang akrab dan ringan, namun sarat makna.
- Pengulangan dan enjambemen: Teknik ini memperkuat ritme dan kesan kontemplatif.
- Metafora lembut: Seperti “songsong kehadirannya dengan sinar lembutnya” untuk matahari, memberi nuansa spiritual dan optimisme. Kutipan Menarik
“Bangun lebih awal / hidup terasa lebih panjang”
“Tok / putuskan / lalu melangkah / menata masa depan”
Kutipan ini mencerminkan filosofi hidup yang sederhana namun mendalam: bahwa waktu pagi adalah ruang untuk memperpanjang kesadaran dan bahwa keputusan harus diambil dengan tegas.
Refleksi
Puisi ini bukan sekadar deskripsi pagi, melainkan ajakan untuk menjadikan pagi sebagai titik tolak perubahan. Ia mengandung semangat keberanian, spiritualitas, dan kesederhanaan yang menyentuh.
ESu berhasil menyampaikan pesan bahwa membaca pagi bukan hanya membaca waktu, tetapi membaca diri, membaca arah, dan membaca harapan.
Editor :! Akhlanudin












