Media Daulat Rakyat

Inshot 20251022 081013858

Sedekah dalam Sunyi, Cahaya dalam Gelap

Inshot 20251022 080849348

Puisi “Sedekah” karya ESu bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan cermin jernih tentang makna terdalam dari memberi.

Di tengah zaman yang gemar memamerkan kebaikan, puisi ini mengajak kita kembali pada akar: bahwa sedekah sejati adalah yang tak bersuara, tak bernama, dan tak mengharap balasan.

Dalam bait-baitnya, ESu menyandingkan sedekah dengan air dan matahari—dua elemen alam yang memberi tanpa syarat. Air mengalir tanpa menuntut kembali, matahari menghangatkan tanpa menagih terima kasih. Ini bukan sekadar metafora, melainkan ajakan untuk menata ulang niat kita dalam berderma.

Kisah saudagar yang dititipkan sedekahnya melalui pedagang beras menjadi titik balik yang menyentuh. Ia digelari pelit karena tak terlihat memberi, padahal ia memberi dalam diam. Ironi ini menggambarkan betapa masyarakat sering menilai dari permukaan, dan betapa sedekah yang sunyi justru menyimpan cahaya yang paling terang.

Opini saya: sedekah bukan hanya soal harta, tapi soal keberanian menjaga ketulusan. Dalam dunia yang serba terlihat, memberi dalam sembunyi adalah bentuk tertinggi dari keikhlasan.

Kita perlu lebih banyak “matahari” dan “air” dalam kehidupan sosial kita—yang memberi karena cinta, bukan karena citra.

Puisi ini bukan hanya karya sastra, tapi juga seruan moral. Ia mengingatkan bahwa kebaikan tak perlu panggung, dan bahwa yang paling mulia adalah yang paling tersembunyi.

Puisi: “Sedekah” oleh ESu

Judul: Sedekah
Penulis: ESu
Tanggal: Pisangan Timur, 22 Oktober 2025
Tema: Keikhlasan dalam memberi dan makna terdalam dari sedekah

Makna dan Isi Puisi

Puisi Sedekah karya ESu mengalir lembut seperti air—seperti yang digambarkan dalam bait pembuka. Ia mengajak pembaca merenungi esensi sejati dari sedekah: memberi tanpa pamrih, tanpa pamor, dan tanpa pamitan.

Seperti matahari yang menyinari tanpa pilih kasih, sedekah yang ideal adalah yang dilakukan dalam kesunyian, tanpa mengharap balasan atau pengakuan.

Puisi ini juga menyisipkan kisah reflektif tentang seorang saudagar kaya yang diam-diam menitipkan sedekahnya melalui pedagang beras.

Ironisnya, karena sedekahnya tak diketahui publik, ia dicap pelit dan bahkan tak dihormati saat wafat. Namun, justru di situlah letak ketulusan: memberi tanpa ingin dikenal. Kisah ini menjadi kritik halus terhadap budaya pamer dalam berderma, sekaligus penghormatan terhadap mereka yang memilih jalan sunyi dalam kebaikan.

Gaya Bahasa dan Struktur

ESu menggunakan gaya bahasa yang sederhana namun sarat makna. Imaji air dan matahari menjadi metafora utama untuk menggambarkan sifat sedekah yang ideal: mengalir, hangat, dan tak kembali.

Struktur puisinya bebas, dengan larik-larik pendek yang memberi ruang jeda bagi pembaca untuk merenung. Penggunaan repetisi seperti “sunyi / sembunyi” dan “ikhlas / tak ada pura-pura” memperkuat pesan moral yang ingin disampaikan.

Nilai Reflektif

Puisi ini bukan sekadar ajakan untuk bersedekah, melainkan undangan untuk merefleksikan niat di balik setiap pemberian. Ia mengingatkan bahwa sedekah bukan hanya soal harta, tapi soal hati. Bahwa kebaikan sejati adalah yang tak terlihat, tak terdengar, tapi terasa dampaknya.

Kesimpulan

Sedekah adalah puisi kontemplatif yang menyentuh sisi terdalam dari praktik memberi.

Ia menantang pembaca untuk meninjau ulang motivasi dalam berderma, dan mengajak kita menjadi seperti air dan matahari—memberi tanpa jejak, namun menghidupkan.

Editor: Akhlanudin

Artikel Terkait

Inshot 20251112 022450932

Pemerintah Kabupaten Belitung Buka Program…

intisari Berita Tanjungpandan, 12 November 2025…

Inshot 20251112 003257471

Puisi Puisi Edy Sukardi

Panen ESu Bulan nopemberdan Desemberdi negrikumusim…

Inshot 20251112 001835381

Bahasa yang Tak Bisa Berbohong:…

Puisi “Membaca Rahasia Hati ESu” karya…

Sedekah dalam Sunyi, Cahaya dalam Gelap – Media Daulat Rakyat