
Puisi “Cerita tentang Korupsi” karya ESu bukan sekadar karya sastra—ia adalah alarm moral yang menggema dari Senayan hingga ke halaman rumah kita. Lewat narasi bertahap: dulu, kemarin, kini—penyair menunjukkan bagaimana korupsi bukan lagi isu abstrak di negeri orang, melainkan ancaman nyata yang merayap ke ruang hidup kita sendiri.
Ketika korupsi sudah “di sebrang jalan depan rumahku”, kita tak bisa lagi bersikap apatis. Ini bukan hanya soal pejabat berdasi atau lemari besi tempat menyimpan hasil rampokan. Ini soal masa depan anak-anak kita, soal harga diri bangsa, soal api neraka yang disebut dalam firman Tuhan.
Seruan kepada para penegak hukum—Pak Wowo, Pak Jaksa, Pak KPK, dan lainnya—bukan sekadar harapan, tapi tuntutan rakyat. Kita ingin negeri ini bersih, aset dikembalikan, dan kampung halaman menjadi tempat yang layak untuk hidup, bukan ladang ketimpangan.
Namun, tanggung jawab tak berhenti di Senayan. Firman yang dikutip penyair mengingatkan kita: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” Artinya, kita semua punya peran. Jangan biarkan korupsi masuk lewat celah kecil: gratifikasi, pungli, atau pembiaran terhadap ketidakadilan.
Korupsi bukan hanya soal hukum, tapi soal nurani. Dan puisi ini, dengan gaya sederhana namun menggugah, mengajak kita untuk bangkit. Dari rumah, dari hati, dari iman.
Identitas Karya
- Judul: Cerita tentang Korupsi
- Pengarang: ESu
- Tanggal: Senayan, 24 Oktober 2025
- Jenis: Puisi reflektif dan kritik sosial
Tema dan Makna
Puisi ini mengangkat tema korupsi sebagai penyakit sosial yang merambat dari jauh hingga ke depan rumah sang penyair. Ia menggambarkan korupsi sebagai fenomena yang awalnya terasa jauh, lalu semakin mendekat dan mengancam ruang hidup pribadi. Ada nuansa ketakutan, keprihatinan, dan seruan moral yang kuat.
Struktur dan Gaya Bahasa
- Struktur naratif bertahap: Puisi dibagi dalam tiga fase waktu — “Dulu”, “Kemarin”, dan “Kini” — yang menunjukkan eskalasi kedekatan korupsi dengan kehidupan sehari-hari.
- Bahasa sederhana namun tajam: Pemilihan kata seperti “remah-remah”, “lemari besi”, dan “sebentar lagi sampai di halaman rumahku” menyiratkan ketimpangan dan ancaman.
- Penggunaan kutipan religius: Ayat suci menjadi penegasan moral dan spiritual, memperkuat pesan bahwa korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga dosa besar.
- Seruan langsung kepada tokoh publik: Nama-nama seperti “Pak Wowo”, “Pak jaksa”, “Pak KPK”, dan lainnya menunjukkan harapan konkret kepada para penegak hukum dan pemimpin untuk bertindak.
Analisis Reflektif
Puisi ini bukan sekadar kritik, melainkan juga refleksi spiritual dan sosial. Ketika korupsi sudah “di sebrang jalan depan rumahku”, penyair mengajak pembaca untuk tidak hanya mengutuk, tapi juga menjaga diri dan keluarga dari godaan serupa. Ini adalah ajakan untuk introspeksi dan aksi kolektif.
Nilai dan Relevansi
- Nilai edukatif: Mengingatkan masyarakat tentang bahaya korupsi yang merusak tatanan sosial dan moral.
- Nilai spiritual: Mengaitkan tindakan korupsi dengan konsekuensi akhirat, memperkuat urgensi untuk menjauhinya.
- Nilai advokatif: Menyerukan penindakan tegas dan pemulihan aset demi kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan
“Cerita tentang Korupsi” adalah puisi yang lugas, reflektif, dan penuh daya gugah.
Ia menyuarakan keresahan masyarakat sekaligus harapan akan perubahan. Dengan gaya bertutur yang bertahap dan menyentuh, ESu berhasil mengemas kritik sosial menjadi seruan moral yang mendalam.
Editor : Akhlanudin












