Media Daulat Rakyat

Inshot 20251006 032438113

Nyanyian yang Dilarang, Puisi yang Melawan

Img 20251006 031926

Oleh: Akhlanudin

Puisi “Jangan Lagu yang Itu” karya Dr. H. Edy Sukardi bukan sekadar rangkaian kata indah.

Ia adalah pernyataan sikap, sebuah nyanyian yang tak ingin dibungkam, dan sekaligus tamparan bagi budaya yang membiarkan suara kritis tenggelam dalam lagu-lagu cengeng.

Di tengah arus konten yang meninabobokan, puisi ini hadir sebagai perlawanan. Ia menolak menyanyikan lagu yang “berbahaya”—karena kritiknya tajam dan bisa membakar akar rumput.

Tapi justru di sanalah letak keberanian penyair: ia memilih menyanyikan lagu cinta tanah air, cinta yang berdarah air mata, cinta yang tak bisa dibeli dengan slogan atau nostalgia.

Ketika penyair diminta menyanyikan lagu putus cinta, ia menyatakan telah putus cinta pada pemimpin yang berdusta dan menipu. Ini bukan sekadar satire, tapi pengakuan politik yang jujur dan menyentuh.

Ia menolak membandingkan tokoh hari ini dengan Bung Hatta, Hamengkubuwono IX, Adam Malik, atau JK—karena tahu bahwa perbandingan itu tak layak dan tak adil.

Puisi ini juga menyentil generasi instan yang ingin pintar tanpa belajar, ingin tahu tanpa membaca.

“Toko buku ada, Bos,” katanya, “tapi ilmu harus kau pelajari sendiri.” Sebuah kritik terhadap mentalitas instan yang merusak fondasi berpikir bangsa.

Dan ketika semua lagu ditolak, penyair tetap memilih bernyanyi. Ia tetap menulis puisi. Ia tetap memilih diksi yang menyenangkan hati.

Karena bagi penyair, bernyanyi adalah bentuk keberadaan. Menulis adalah bentuk perlawanan. Dan puisi adalah senjata yang tak bisa disita.

Ditulis di Tol Jagorawi, 5 Oktober 2025, puisi ini menjadi simbol bahwa di mana pun suara nurani bisa lahir. Bahkan di jalan tol, di sela-sela kesibukan, di tengah tekanan, puisi tetap bisa menjadi ruang merdeka.

Kita butuh lebih banyak lagu seperti ini. Lagu yang tak hanya menghibur, tapi juga menggugah.

Lagu yang tak hanya menyenangkan, tapi juga menyadarkan. Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang bernyanyi, tapi bangsa yang tahu lagu mana yang harus dinyanyikan.

Jangan Lagu yang Itu
.
– ESu

Puisi yang Menyuarakan Perlawanan, Cinta, dan Kegelisahan

Puisi “Jangan Lagu yang Itu” karya ESu adalah sebuah monolog puitik yang menyentil, menggugat, dan sekaligus menghibur. Ditulis dengan gaya tutur yang lugas namun penuh lapisan makna, puisi ini menyerupai dialog antara penyair dan kekuasaan—antara suara nurani dan tuntutan untuk tunduk.

Tema dan Isi

Puisi ini mengangkat tema kebebasan berekspresi, kritik sosial, dan pencarian makna cinta yang lebih dalam.

Penyair menolak menyanyikan “lagu yang itu”—lagu yang dianggap berbahaya karena mengandung kritik tajam dan membakar semangat rakyat.

Sebagai gantinya, ia diminta menyanyikan lagu cinta yang cengeng, lagu patah hati, bahkan lagu bunuh diri—sebuah sindiran terhadap budaya populer yang menumpulkan kesadaran sosial.

Namun penyair tak menyerah. Ia menyanyikan “lagu cinta tanah air”—tanah air mata, air mata rakyat. Ketika itu pun ditolak, ia menyanyikan lagu putus cinta yang politis: putus cinta pada pemimpin yang berdusta dan menipu.

Puisi ini terus bergulir dalam bentuk penolakan demi penolakan, hingga akhirnya penyair menyatakan tekadnya: ia akan tetap bernyanyi, tetap menulis puisi, tetap memilih diksi yang menyenangkan hati.

Gaya Bahasa dan Struktur

  • Bahasa lugas dan langsung, namun penuh ironi dan metafora.
  • Dialog internal yang menyerupai teater satu orang, dengan ritme yang dinamis dan penuh kejutan.
  • Penggunaan intertekstual seperti kutipan lagu Doraemon dan penyebutan tokoh-tokoh nasional (Bung Hatta, Hamengkubuwono IX, Adam Malik, JK) memberi dimensi historis dan politis.
  • Diksi yang tajam namun tidak melukai, menunjukkan kedewasaan dalam menyampaikan kritik.

Nilai dan Refleksi
Puisi ini bukan sekadar keluhan atau satire.

Ia adalah refleksi tentang bagaimana suara kritis sering dibungkam, bagaimana cinta bisa menjadi bentuk perlawanan, dan bagaimana puisi bisa menjadi senjata yang lembut namun tajam. Di tengah tuntutan untuk menyanyikan lagu yang “aman”, penyair memilih tetap bernyanyi dengan hati dan keberanian.

Penutup

Ditulis di Tol Jagorawi pada 5 Oktober 2025, puisi ini terasa seperti jeritan dari pinggir jalan, dari ruang transit, dari tempat yang tak biasa namun sangat nyata. Ia mengajak pembaca untuk bertanya: lagu mana yang sebenarnya kita nyanyikan hari ini? Lagu yang membius, atau lagu yang membangkitkan?

Artikel Terkait

Inshot 20251112 022450932

Pemerintah Kabupaten Belitung Buka Program…

intisari Berita Tanjungpandan, 12 November 2025…

Inshot 20251112 003257471

Puisi Puisi Edy Sukardi

Panen ESu Bulan nopemberdan Desemberdi negrikumusim…

Inshot 20251112 001835381

Bahasa yang Tak Bisa Berbohong:…

Puisi “Membaca Rahasia Hati ESu” karya…

Nyanyian yang Dilarang, Puisi yang Melawan – Media Daulat Rakyat