Puisi “Semua Berkata Begitu” karya Edy Sukardi bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jeritan nurani yang menelanjangi kepalsuan sistemik. Ia mengalir seperti air bah—deras, menghanyutkan, dan tak bisa dibendung.
Dalam metafora sungai dan samudra, kita melihat gambaran kekuasaan yang tak lagi bisa ditahan oleh akar nilai, batu hukum, atau pohon-pohon moral. Semua pegangan itu tumbang, hanyut, dan hilang.
Namun yang paling mengguncang adalah bagian kedua: dongeng klasik tentang “Raja Tak Berbusana” yang dihidupkan kembali dengan keberanian vulgar.
Ketika seorang anak kecil berteriak “titit raja keliatan,” kita diingatkan bahwa kebenaran sering datang dari suara yang jujur, polos, dan tak terikat kepentingan. Kini, suara itu bukan lagi milik satu anak, melainkan gema rakyat, wakil, dan pemuka yang akhirnya berkata sama: “Raja telanjang.”
Apakah ini pertanda bahwa kewarasan kolektif telah bangkit? Ataukah justru kita sedang menyaksikan repetisi dari kebohongan yang dikemas ulang sebagai kebenaran?
Ketika semua berkata begitu, kita patut bertanya: siapa yang benar-benar melihat, dan siapa yang hanya ikut berteriak?
Puisi ini mengajak kita untuk tidak sekadar menjadi gema, tetapi menjadi mata dan hati yang jernih.
Menjadi anak kecil yang waras di tengah kerumunan yang bersorak. Menjadi suara yang bukan hanya lantang, tetapi juga tajam dan jujur.
Dalam arus deras kekuasaan dan opini publik, puisi ini adalah batu ujian: apakah kita masih punya keberanian untuk berkata benar, meski sendirian?
Semua Berkata Begitu oleh ESu
Latar dan Tema
Puisi ini menggambarkan arus deras kehidupan dan kebenaran yang tak terbendung. Dengan metafora air bah dan cerita klasik “Raja Tak Berbusana,”
ESu menyuarakan kritik sosial yang tajam terhadap kekuasaan, kepalsuan, dan keberanian untuk berkata jujur.
Tema utamanya adalah keberanian menyuarakan kebenaran di tengah arus kebohongan yang sistemik.
Struktur dan Gaya Bahasa
Puisi ini terbagi dalam dua bagian besar:
- Bagian pertama: Menggunakan citraan alam—air, akar, batu, pohon, muara, dan samudra—untuk melukiskan kekuatan arus yang menghanyutkan segala bentuk perlawanan. Ini menjadi simbol dari sistem atau kekuasaan yang tak bisa dibendung.
- Bagian kedua: Mengangkat kembali dongeng klasik tentang raja telanjang, namun dengan gaya yang lebih vulgar dan jujur. Pengulangan frasa “Raja tak berbusana” dan “titit raja keliatan” menjadi penekanan bahwa kebenaran kini tak bisa lagi ditutupi.
Gaya bahasa yang digunakan lugas, metaforis, dan kadang mengejutkan. ESu tidak segan menggunakan diksi yang kasar namun jujur, sebagai bentuk perlawanan terhadap eufemisme dan kepura-puraan.
Makna dan Tafsir
- Air bah: Melambangkan kekuasaan atau sistem yang begitu kuat hingga menghanyutkan semua bentuk perlawanan.
- Akar, batu, pohon: Simbol pegangan atau nilai yang selama ini dianggap kokoh, namun ternyata tak mampu menahan arus.
- Raja telanjang: Kritik terhadap pemimpin atau tokoh yang berpura-pura berwibawa, namun sebenarnya kosong. Ketika rakyat mulai menyuarakan kebenaran, kepalsuan itu runtuh.
Puisi ini menyiratkan bahwa kebenaran, meski lama tertahan, akan menemukan jalannya. Dan ketika rakyat bersuara, suara itu menjadi gelombang yang tak bisa dibendung.
Refleksi Etis dan Sosial
ESu mengajak pembaca untuk tidak menjadi pembesar yang ikut-ikutan membenarkan kebohongan, melainkan menjadi “anak kecil yang waras” yang berani berkata jujur.
Dalam konteks sosial-politik, puisi ini relevan sebagai seruan untuk keberanian moral, transparansi, dan kesadaran kolektif.
Kesimpulan
“Semua Berkata Begitu” adalah puisi yang menggugah, berani, dan reflektif. Ia menggabungkan kekuatan metafora alam dengan kritik sosial yang tajam, serta mengajak pembaca untuk tidak hanyut dalam arus kebohongan, melainkan menjadi suara jernih yang menyuarakan kebenaran.
editor:! Akhlanudin












