
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sosial, kita sering kali memainkan banyak peran: sebagai pemimpin, warga, sahabat, atau bahkan sebagai pribadi yang sedang mencari makna. Puisi Aku yang mana karya ESu menyentuh inti dari kegelisahan itu—tentang kejujuran, identitas, dan keberanian untuk tampil apa adanya.
Masyarakat kita semakin cerdas membaca keaslian. Mereka tak hanya mendengar kata-kata, tapi menangkap getar kejujuran dari sikap, pilihan, dan konsistensi. Maka, pertanyaan “engkau yang asli yang mana?” bukan sekadar refleksi pribadi, tapi juga kritik sosial terhadap budaya pencitraan dan kepura-puraan.
Dalam opini publik, ada beberapa sorotan penting:
- Kejujuran bukan hanya soal berkata benar, tapi soal keberanian untuk tidak menyembunyikan diri di balik peran.
- Peran sosial yang berganti-ganti adalah keniscayaan, namun jati diri yang konsisten adalah kebutuhan.
- Hati dan logika masyarakat adalah radar yang tajam—mereka bisa membedakan antara jujur dan pura-pura jujur.
- Pemimpin, tokoh publik, dan siapa pun yang tampil di ruang sosial harus sadar: kepercayaan dibangun dari kejujuran yang terbaca, bukan dari topeng yang rapi.
Puisi ini menjadi cermin bagi kita semua. Bahwa di balik setiap peran, ada tuntutan untuk tetap jujur. Bahwa di tengah tuntutan sosial, ada harapan agar kita tidak kehilangan diri. Dan bahwa masyarakat hari ini tidak lagi mudah dibohongi oleh kata-kata manis yang kosong.
Mari kita rawat kejujuran sebagai fondasi relasi sosial. Karena sehalus apapun dusta ditutup, ia akan terbaca. Dan ketika kejujuran menjadi budaya, maka kepercayaan akan tumbuh, dan bangsa akan kuat.
Identitas Karya
- Judul: Aku yang mana
- Penulis: ESu
- Tanggal: 27 Oktober 2025
- Tempat: Pisangan Timur
Tema dan Makna
Puisi ini menggali kompleksitas identitas dan kejujuran diri. Lewat pertanyaan retoris dan pengulangan kata “aku”, penyair mengajak pembaca merenungkan: siapa sebenarnya diri kita? Apakah kita benar-benar jujur pada diri sendiri dan orang lain, atau hanya memainkan peran yang berganti-ganti?
Tema utama yang diangkat adalah:
- Pencarian jati diri
- Kejujuran dan kepalsuan
- Pertentangan antara logika dan hati
Gaya Bahasa dan Struktur
- Pengulangan: “ada aku, ada aku…” menciptakan efek gema yang memperkuat kesan kebingungan dan keraguan.
- Pertanyaan retoris: “Engkau yang asli yang mana?” memancing refleksi mendalam.
- Kontras: antara “jujur” dan “pura-pura jujur”, antara “topeng” dan “peran”.
- Personifikasi hati dan logika: sebagai “radar” pembaca kejujuran, memberi nuansa filosofis.
Struktur puisi bebas tanpa rima, namun ritme tetap terjaga melalui jeda dan pengaturan baris yang reflektif.
Nilai Reflektif
Puisi ini bukan sekadar curahan batin, melainkan undangan untuk introspeksi. Ia menyentuh sisi eksistensial manusia yang sering kali terpecah antara berbagai peran sosial dan keinginan untuk tampil otentik. Di tengah dunia yang penuh kepura-puraan, puisi ini menjadi pengingat bahwa kejujuran sejati akan terbaca, meski disembunyikan sehalus apapun.
Kesimpulan
“Aku yang mana” adalah puisi kontemplatif yang menyentuh ranah psikologis dan filosofis. ESu berhasil menyampaikan kegelisahan identitas dan kejujuran dengan bahasa yang sederhana namun tajam. Puisi ini cocok dibaca oleh siapa pun yang sedang mencari makna diri di tengah keramaian peran dan tuntutan sosial.
editor : Akhlanudin












