DPW PKR Propinsi Aceh menggelar Rapat dalam rangka pengumpulan e KTP di 18 kabupaten dipimpin langsung oleh Drs. Gito Karim Ketua DPW Aceh di sekretariat DPW PKR Aceh
Provinsi Aceh terdiri dari 18 kabupaten, 5 kota, 289 kecamatan, dan 6.497 gampong. Pada tahun 2019, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 5.371.532 jiwa dengan total luas wilayah 57.956,00 km²
Mengenal Aceh sebagai Daerah Khusus
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia hingga saat ini hanya empat satuan daerah yang dinyatakan berstatus sebagai Daerah Khusus yaitu Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan Provinsi Papua serta Papua Barat.
Kekhususan Aceh telah diatur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633) pada hakikatnya manifestasi dari UUD Tahun 1945. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), Sebagai daerah Khusus, saat ini sudah memiliki 26 Kewenangan Khusus. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh. Oleh karena itu Aceh terdapat 2 (dua) sebutan yaitu daerah istimewa dan daerah khusus, sehingga nama Aceh dapat disebutkan sebagai daerah khusus provinsi Daerah Istimewa Aceh.[38][39]
UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
2. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
3. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
4. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
5. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Aceh.
Nama (nomenklatur) yang digunakan menurut Pasal 1 angka 2 UU 11/2006 adalah Aceh; tanpa ada kata “provinsi” maupun frasa “daerah istimewa”, Aceh merupakan daerah khusus (dan juga daerah istimewa) karena Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang bersifat istimewa dan diberi otonomi khusus; “Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. ” Pasal 1 angka 2 UU 11/2006″