Jakarta, 7 Juli 2022 –
Pemerintah Republik Indonesia mendayagunakan inovasi digital untuk membantu akselerasi transformasi digital yang inklusif, berkelanjutan, dan memberdayakan. Sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, Pemerintah menargetkan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih awal.
“Kebijakan untuk memangkas emisi gas rumah kaca ini melibatkan seluruh sektor strategis, termasuk sektor TIK untuk beradaptasi dan menggunakan praktik yang ramah lingkungan,” jelas Staf Khusus Menteri Kementerian Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi dalam acara Open Society Conference (OSC) 2022 yang diselenggarakan Universitas Terbuka secara virtual dari Jakarta Pusat, Kamis (07/07/2022).
Dedy Permadi menyatakan saat ini perkembangan di bidang teknologi digital terus mendorong lahirnya beragam inovasi baru. Mengutip artikel Forbes pada tahun 2022, Stafsus Menteri Kominfo Bidang Digital dan SDM menjelaskan istilah “Digital Genesis” yang menggarisbawahi kemungkinan konvergensi beragam teknologi masa depan, seperti nanotech, biotech, dan quantum physics.
“Saat ini, kita mulai merasakan kehadiran teknologi-teknologi tersebut. Salah satu contoh konkret dari bagaimana teknologi maju ini mulai terbentuk di kehidupan kita adalah melalui metaverse,” tuturnya.
Sebagai bentuk ekstensif dari dunia daring dan visi masa depan internet, Dedy Permadi menyatakan metaverse juga memiliki potensi ekonomi yang besar secara global.
“Metaverse diproyeksikan akan bernilai sebesar US$ 5 triliun pada tahun 2030 mendatang, didukung oleh aktivitas-aktivitas relevan di dalamnya, seperti e-commerce dan virtual advertising,” jelasnya.
Tiga Aspek
Menurut Dedy Permadi, Kementerian Kominfo mendukung ekonomi digital yang ramah lingkungan (green digital economy) melalui tiga aspek utama, yaitu konektivitas, inftasruktur data dan aplikasi.
“Dalam aspek konektivitas, Kementerian Kominfo telah menginisiasi pengembangan jaringan 5G yang saat ini telah mencakup daerah di 13 kota di Indonesia. Secara operasional, jaringan 5G merupakan teknologi yang lebih ramah lingkungan, dengan lebih banyak bit data per kilowatt energi dibandingan generasi nirkabel sebelumnya,” jelas Dedy Permadi.
Adapun mengenai aspek kedua infrastruktur data, Kementerian Kominfo mendorong pengembangan Pusat Data Hijau (green data center) yang menggunakan energi terbarukan dengan lebih efisien.
“Dengan adanya metaverse, konsumsi data akan terus meningkat, dan oleh karenanya, Pusat Data Hijau menjadi penting untuk dikembangkan,” tegasnya.
Dalam aspek aplikasi, Kementerian Kominfo memfasilitasi pengembangan Smart City Masterplan bagi 141 kota dan kabupaten melalui Gerakan Menuju 100 Smart City sejak 2017 lalu. “Salah satu dimensi pengembangan smart city adalah ‘smart environment’, di mana inovasi digital seperti digital twins dapat dipergunakan untuk melakukan simulasi solusi bagi lingkungan secara virtual dan mengurangi biaya operasional,” jelas Dedy Permadi.
Keberlanjutan Lingkungan
Pengembangan metaverse secara bertanggung jawab dan akuntabel juga dapat berperan bagi keberlanjutan lingkungan, seperti melalui utilisasi virtual reality, augmented reality, dan mixed reality.
Menurut Stafsus Menteri Kominfo Bidang Digital dan SDM, salah satu sektor yang bisa menuai manfaat dari kemajuan metaverse adalah industri mode atau fashion.
“Industri fashion dapat memproduksi limbah yang lebih sedikit dengan menggunakan medium virtual clothing, juga dengan menyelenggarakan fashion show di metaverse,” tuturnya.
Dedy Permadi menegaskan metaverse juga menjadi enabler dalam mencapai dan meningkatkan kesadaran akan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
“Perserikatan Bangsa-Bangsa bahkan mendukung inisiatif kompetisi pembuatan SDGs experience menggunakan teknologi virtual reality dalam metaverse,” tandasnya.
Meskipun memiliki manfaat yang menjanjikan, menurut Stafsus Menteri Kominfo Bidang Digital dan SDM penggunaan infrastruktur TIK berskala besar dalam pengembangan metaverse dapat berpotensi meninggalkan jejak karbon dan mengkonsumsi energi yang signifikan.
Dedy Permadi mencontohkan rata-rata transaksi Ethereum, sebagai salah satu cryptocurrency yang juga digunakan dalam metaverse, mengkonsumsi 60% lebih banyak energi dibandingkan transaksi dari 100.000 kartu kredit. Selain itu, rata-rata satu transaksi dari non-fungible token (NFT) menghasilkan 48 kilogram CO2, atau sama dengan membakar 18 liter diesel.
“Oleh karena itu, dibutuhkan pengadopsian infrastruktur TIK yang ramah lingkungan untuk meminimalisasi risiko lingkungan dan membangun dunia metaverse yang inklusif dan berkelanjutan,” tuturnya.
Beberapa negara di dunia pun telah memulai pengembangan metaverse dengan pendekatan yang berkelanjutan, misalnya melalui pembentukan “Metaverse Alliance” di Korea Selatan dan pengembangan teknologi digital twins di Inggris, Australia, Singapura, dan Tiongkok.