“Terdapat peningkatan wilayah adat yang sudah teregistrasi sebanyak 5 juta hektar dari 12,7 juta hektar menjadi 17,6 juta hektar selama 6 bulan terakhir. Region Maluku-Papua berkontribusi besar dalam peningkatan wilayah adat yang teregistrasi,” ungkap Kasmita Widodo, Kepala BRWA kepada Mongabay di Makassar, Kamis (17/3/2022).
Menurut Kasmita, hingga saat ini BRWA telah meregistrasi 1.091 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 17,6 juta hektar, tersebar di 29 provinsi dan 141 kabupaten/kota. Sebanyak 14,2 juta hektar yang sudah teregistrasi, 2,7 juta hektar yang terverifikasi dan 612 ribu hektar yang telah tersertifikasi, mencakup 42 peta.
“Terdapat 176 wilayah adat yang sudah ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 2,69 juta hektar atau sekitar 15,28 persen dari total wilayah adat teregistrasi di BRWA,” tambahnya.
Secara rinci dijelaskan, di region Maluku/Papua sudah memiliki 113 peta dengan luas wilayah mencapai 7,9 juta hektar, region Jawa/Bali/Nusra terdapat 95 peta dengan luas wilayah 514.628 hektar, Sulawesi dengan 160 peta seluas 1.609.738 hektar, Kalimantan dengan 466 peta seluas 5.499.956 ha, Sumatera dengan 257 peta seluas 2.055.223 ha.
Pada wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang telah menerbitkan peraturan daerah untuk pengakuan masyarakat adat terdapat 667 peta wilayah adat dengan luas mencapai 12,79 juta hektar. Sementara itu, masih ada sekitar 2,15 juta hektar wilayah adat yang belum memiliki payung hukum pengakuan.
“Pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat terlaksana berkat kebijakan daerah di tingkat provinsi dan kabupaten kota. Secara umum, bentuk kebijakan daerah bersifat pengaturan dan penetapan keberadaan masyarakat adat dan wilayah adat,” jelasnya.
Salah satu faktor penyebab region Maluku-Papua berkontribusi dalam peningkatan ini karena Papua dan Papua Barat memiliki perda khusus (perdasus), sehingga kabupaten/kota tinggal membuat panitia MHA (Masyarakat Hukum Adat).
“Papua bisa cepat karena memang selain sudah punya perdasus yang dijadikan sebagai rujukan, mereka bikin yang namanya tim kajian penentuan wilayah, setelah itu bikin SK bupati, jadi ada upaya-upaya itu. Di Papua Barat sudah ada perdasus mengenai pengakuan masyarakat adat, sudah ada aturan teknisnya perbup mengenai tatacara, tinggal didorong kabupaten dan kota melakukan pembentukan panitia MHA.”
Untuk Papua dan Papua Barat memiliki kondisi yang agak unik dibanding daerah lain, karena perda-perda yang terbit langsung melampirkan peta wilayah adat.
“Di Sorong dan Asmat sebagai contoh, walaupun itu masih global ya tetapi itu menarik juga, sudah mencantumkan subjek-subjek yang ada masyarakat adat di sebuah kabupaten yang tinggal ditindak lanjuti dengan proses pemetaan yang lebih detail. Kalau di Sorong sekarang malah lagi dibikin detail per marga, pengakuan secara keseluruhan sudah ada, makanya agak unik.”
Terkait wilayah adat yang menjadi kawasan ibukota negara (IKN) di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) hingga saat ini belum memiliki peta ataupun kebijakan daerah terkait hal itu.
“Ini agak mengancam sebenarnya, kalau mau kita bisa menggunakan perda provinsi yang sudah ada lalu kemudian digunakan pemerintah kabupaten membuat panitia masyarakat adat untuk penetapan. Kalau IKN berlangsung kan sudah tidak ada DPRD dan sebagainya, penetapannya akan bagaimana, ini yang menjadi krusial. Kalau Pemda PPU sekarang merujuk pada perda provinsi untuk melakukan proses-proses identifikasi dan verifikasi.”
Status Hutan Adat
Terkait hutan adat, luas hutan adat yang telah mendapat pengakuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mengalami peningkatan, meski belum signifikan.
“KLHK telah menerbitkan 89 surat keputusan pengakuan hutan adat dengan luas mencapai 89.783 hektar atau sekitar 0,65 persen dari potensi hutan adat saat ini yang teregistrasi di BRWA yakni sekitar 13,76 juta hektar. Sedangkan yang masuk dalam wilayah indikatif hutan adat mencapai sekitar 1.152.600 hektar.”
Wilayah indikatif hutan adat yang tercatat ini, tambah Kasmita, sebagian besar telah memenuhi ketentuan pengakuan melalui perda dan penetapan pengakuan masyarakat adat oleh kepala daerah, sehingga KLHK diharapkan segera melakukan verifikasi teknis atas usulan hutan adat yang telah disampaikan komunitas adat kepada menteri LHK.
Terkait tantangan yang dihadapi selama ini, khususnya dalam mendorong hutan adat, adalah anggaran KLHK ini yang sangat kecil mengurus hutan adat. Setahun hanya untuk 15 lokasi yang dianggarkan untuk verifikasi teknis, sementara hutan adat yang diusulkan jauh lebih banyak.
Tantangan lainnya adalah dari komitmen pemerintah daerah yang masih kurang sehingga pemerintah daerah diharapkan mempercepat rekognisi.
“Saat ini baru sekitar 2,6 juta ha yang ada pemetaan pengakuan wilayah adat dari 17 juta ha yang sudah teregistrasi, itu kan masih cukup banyak pekerjaan rumah di pemda juga. Itu saya perlu upaya yang lebih kuat lagi dari pemda kabupaten dan provinsi untuk melakukan proses pengakuan itu.”
Tantangan lainnya adalah adanya konflik kepentingan di pihak pemerintah daerah sendiri, yang terjadi di beberapa daerah.
“Di beberapa kabupaten terjadi konflik kepentingan terhadap areal-areal usaha perizinan yang sudah ada di situ. Itu resistensinya tinggi sampai ada rilis di media. Ini yang menjadi hal yang sulit bagi kita mendorong pengakuan tersebut.”
Meski demikian, di beberapa daerah sebenarnya yang punya perizinan kehutanan yang luas dan HGU sebenarnya telah terjadi perubahan pemerintah daerahnya, yang kemudian berusaha bagaimana melakukan proses pengakuan masyarakat adat.
“Mungkin ini karena pemerintah pusat juga banyak menerbitkan edaran-edaran terkait hal ini, misalnya dari Kemendagri. Dalam hal ini proses-proses yang dilakukan pemerintah pusat berpengaruh pada apa yang terjadi di daerah.”
Dalam kaitannya dengan keberadaan UU Cipta Kerja, menurut Kasmita, UU ini banyak menarik kewenangan daerah terutama perizinan berusaha, salah satunya terkait tata ruang. Proses perizinan kemudian akan dilakukan secara online yang akan menjadi tantangan tersendiri bagi eksistensi wilayah adat.
Menurutnya, kalau peta-peta wilayah adat ini baik yang sudah ditetapkan maupun yang belum tidak masuk ke dalam sistem informasi pusat dan daerah dan tidak ternavigasi oleh satu sistem perizinan berusaha maka akan sangat berpengaruh terhadap percepatan perampasan wilayah adat.
“Dalam hal ini proses-proses rekognisi menjadi sangat penting dalam proses perizinan berusaha, termasuk dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur proyek strategis nasional yang kami identifikasi cukup banyak di wilayah adat.”
Hal yang menggembirakan saat ini bahwa sejumlah kebijakan di tingkat nasional, seperti di Bappenas, sudah menggunakan peta di BRWA sebagai salah satu rujukan, termasuk proyek-proyek yang pendanaannya dari lembaga keuangan global, yang setidaknya menunjukkan adanya perhatian terhadap keberadaan masyarakat adat.
“Saya kira kalau di daerah punya peta-peta seperti ini juga akan sangat baik menjadi rujukan bagi Bappenas dan lembaga keuangan yang membiayai proyek strategis nasional tersebut.”
Sumber Berita: “BRWA Rilis Status Terbaru Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia, Pemda Diharap Percepat Proses Rekognisi“