pers-scaled.jpg
 20230731_193802.gif
 323276293_566466371650625_8427709249684468411_n-scaled.jpg

Manggar. Polemik Rencana Pertambangan Laut Terus bergulir di Belitung Timur. Hal ini menimbulkan perdebatan yang Tidak kunjung berhenti di kalangan masyarakat Beltim. Tentu di era keterbukaan ini, apapun kebijakan di daerah sudah pasti tidak akan luput dari perbincangan dan perdebatan.

Namun hal yang paling penting dan mendasar adalah komitmen pemerintah di Provinsi Bangka Belitung ini, berkaitan dengan tidak adanya ruang pertambangan di Laut Beltim. Hal itu tertuang dalam Perda RZWP3K pada tahun 2020 yang lalu.

Hal ini disampaikan oleh Koko Haryanto, Anggota DPRD Beltim yang juga mantan Ketua Pansus Pertambangan Laut.Koko menjelaskan bahwa di dalam perda No 3 Tahun 2020 tersebut memuat zona pertambangan yang hanya meliputi empat Kabupaten di Bangka Belitung yakni, Kabupaten Bangka, Bangka Tengah, Bangka Barat dan Bangka Selatan. Sementara Kabupaten Belitung Dan Belitung Timur tidak terdapat dalam zona pengembangan pertambangan laut.

“Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa Untuk Laut Pulau Belitong hanya memuat pengembangan Zona Pelabuhan, perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya dan Kawasan Konservasi” Tegas Koko.

Lalu bagaimana dengan adanya IUP yang masih aktif dalam zona yang tidak ada pertambangan Lautnya?. Tentu berdasarkan peraturan peralihannya disebutkan bahwa izin pemanfaatan yang sudah ada sebelum perda ini ada dan belum dilakukan kegiatannya, maka izin tersebut harus menyesuaikan Fungsi Kawasan dalam Perda RZWP3K tersebut.

Hal ini berarti, tidak terdapat ruang yang memadai untuk dilakukan kegiatan, sehingga dengan sendirinya Izin pemanfaatannya kehilangan alas hak.

Koko melanjutkan bahwa Alas hak inilah yg menjadi polemik yang berkepanjangan. Namun sesungguhnya, perda telah memberikan jalan keluarnya, bahwa apabila izin pemanfaatan tersebut sudah dilaksanakan kegiatannya, maka ada ganti rugi, seperti halnya di Pulau Bangka.

Namun khusus di Belitung Timur dapat dipastikan bahwa kegiatannya belum pernah dilaksanakan, sehingga tidak memungkinkan adanya ganti rugi atas ulangnya alas hak dari izin pemanfaatan ruang laut tersebut.


Aturan peralihan juga memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk melakukan penertiban bagi kegiatan yg tidak memiliki izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan kawasannya. Untuk diketahui bahwa Perda Zonasi ini berlaku selama 20 Tahun yakni dari tahun 2020 hingga tahun 2040.

Lalu bagaimana kaitan perda tersebut dengan adanya UU Cipta Kerja? Yang juga memuat beberapa pasal yang menyangkut pertambangan? Koko menyebutkan bahwa UU Cipta kerja juga mengatur tentang pertambangan di laut. Misalnya berkaitan dengan pemberian izin usaha pertambangan di Laut yaitu mengacu kepada peraturan rencana tata ruang kawasan atau zonasi laut.

Ini artinya bahwa pemberian izin harus dilakukan secara berjenjang. Tentu peraturan yang dimaksud adalah Peraturan yang mengatur tentang tata ruang laut di daerah yakni RZWP3K. Pasal yang lain misalnya pasal 47A juga mengatur bahwa persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang laut memperhatikan rencana zonasi secara berjenjang dari daerah kabupaten, provinsi hingga zonasi Nasional.

Oleh karena ini, kegiatan pertambangan di dalam kawasan yang tidak ada zonanya maka bisa dikatakan sebagai kegiatan yang melawan peraturan yang ada dan masih berlaku saat ini. Maka sekiranya Pihak yang merasa dirugikan dengan adanya Perda tersebut, maka dapat mengajukan keberatan atau gugatan secara perdata, agar memperoleh kepastian hukum atas IUP yang dimilikinya sebelum perda ini ada.

Namun yg jelas bentuk pertambangan laut apapun namanya, apalagi dikerjasamakan atau dimitrakan dengan pihak lain, maka hal itu juga menimbulkan persoalan baru, karena ada syarat dan ketentuan lain yang harus dipenuhi sesuai dengan standar good mining practise.

Artikel ini sudah pernah di muat di harian Belitung Ekspres

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *