pers-scaled.jpg
 20230731_193802.gif
 323276293_566466371650625_8427709249684468411_n-scaled.jpg

Jutaan laki-laki, perempuan, dan anak-anak berkumpul di Makkah minggu ini untuk menunaikan ibadah haji. Pemerintah Arab Saudi mengatakan ini akan menjadi kerumunan terbesar yang pernah ada untuk ziarah massal.

Ibadah haji pada intinya adalah ziarah menuju Tuhan. Ini kemudian menjadi paradoks. Jika Tuhan melampaui ruang dan waktu, lalu apa tujuan bepergian ke tempat tertentu? Apakah Tuhan tidak hadir sekarang, di mana-mana?

Penulis sufisme dan diplomat Inggris terkenal Gai Eaton menawarkan tanggapan yang elegan:

Indra kehadiran ilahi kita tumpul. Kita perlu menemukannya dengan mendatangi tempat tertentu dan, bagi seorang Muslim, tempat itu adalah Ka’bah di Makkah, – arah kemana mereka menghadap setiap kali salat dan sekarang dia melakukan perjalanan haji.

Sebuah pengalaman transformatif

Dalam pandangan dunia Islam, Ka’bah berfungsi sebagai lokus hati. Saya menggunakan jamak “hati” di sini, karena haji bukan hanya kewajiban agama individu. Ini adalah tindakan komunal yang memperkuat ikatan kekerabatan antara Muslim dengan cara yang tidak ada duanya.

Ketika jemaah bersiap untuk mengenakan pakaian haji (pakaian ihram), mereka melepas lebih banyak dari pakaian mereka. Kebangsaan, ras, dan status sosial-ekonomi terlempar ke pinggir jalan — pangeran dan orang miskin bersatu sebagai peziarah. Semua perbedaan ditinggalkan.Pengalaman tersebut dapat bersifat transformatif, terutama bagi mereka yang baru pertama kali melakukan ziarah.

Aktivis hak-hak sipil dan penceramah terkenal Muslim Amerika Malcolm X terpaksa mengevaluasi kembali pandangannya tentang ras setelah pengalaman hajinya pada 1964. Dalam Surat Dari Makkah, dia menulis:

Ada puluhan ribu peziarah, dari seluruh dunia. Mereka dari semua warna kulit, dari pirang bermata biru hingga Afrika berkulit hitam. Tetapi kami semua berpartisipasi dalam ritual yang sama, menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan yang, menurut pengalaman saya di Amerika Serikat (AS), membuat saya percaya tidak akan pernah ada antara kulit putih dan non-kulit putih.

Ditambah dengan refleksi sosialnya yang merupakan sebuah revolusi internal, yang menggerakkan hati. Dalam otobiografinya, dia menulis:

Selama 39 tahun saya di bumi ini, Kota Suci Makkah adalah tempat pertama kalinya saya berdiri di hadapan Pencipta Segalanya dan merasa menjadi manusia seutuhnya.

Jalan menuju Makkah penuh dengan tantangan

Bagi umat Islam, kembalinya jumlah jemaah haji ke jumlah pra-pandemi tahun ini (atau bahkan melampaui itu) merupakan kesempatan lain untuk reorientasi kepada Tuhan.

Memang, globalisasi telah mendekatkan dunia, mengurangi dampak buruk pertemuan orang-orang dari lapisan masyarakat yang sama sekali berbeda.

Meski  demikian, ibadah haji tetap tak tertandingi dalam kemampuannya membolak-balikkan hati, baik secara individu maupun kolektif.

Semua pengalaman bukanlah hal yang selalu mudah dan nyaman.

Jika sejarah ziarah haji telah menunjukkan sesuatu, perjalanan menuju Makkah sendiri seringkali penuh dengan tantangan. Tantangan yang dihadapi calon jemaah kerap tidak terduga, dan terjadi secara drastis dan menentukan pengalaman haji mereka masing-masing.

Pandemi COVID-19 menyebabkan kegiatan ziarah ke tempat-tempat suci dihentikan selama 2 tahun.
Hanya sejumlah kecil penduduk Saudi masih diizinkan menunaikan ibadah haji.

Saat pandemi perlahan mereda, banyak Muslim di negara lain yang telah menunggu dengan penuh harap dan memesan rencana perjalanan mereka. Tapi mereka dihadapkan dengan tantangan baru.

Perjuangan untuk mendapatkan tempat

Pada 2022, pemerintah Saudi mengumumkan bahwa semua orang yang ingin menunaikan ibadah haji dari beberapa negara Barat, termasuk AS, Inggris, Australia, Selandia Baru, dan Uni Eropa, harus mendaftar melalui situs web Motawif.

Bagi yang sudah melakukan booking disarankan untuk segera membatalkan dan melakukan registrasi melalui Motawif. Ini akan menempatkan pendaftar ke dalam sebuah sistem tipe lotre, menggantikan agen tur perjalanan haji yang telah beroperasi secara lokal di negara-negara tersebut selama bertahun-tahun.

Pemerintah Saudi mengklaim sedang berusaha menghilangkan perantara (agen tur) dan membuat proses paket perjalanan haji lebih lancar dan lebih terjangkau. Namun, menurut banyak kesaksian, yang
terjadi justru sebaliknya.

Para pendaftar mengkritik kegagalan teknis Motawif yang terjadi terus-menerus, dan mereka yang cukup beruntung untuk sampai ke Makkah mengeluhkan kekacauan yang tidak terorganisasi terkait penyambutan kedatangan mereka.

Klaim Saudi tentang peningkatan keterjangkauan juga ditentang. Harga paket haji bervariasi, tergantung tingkat kemewahan yang diinginkan jamaah selama berada di Kota Suci. Namun, ketika memperhitungkan semua biaya, total harga untuk paket penerbangan dalam kisaran US$ 7.000 hingga $ 13.500 (AUD$10.000 hingga $20.000, atau sekitar Rp 105 juta hingga 202 juta ) per orang.

Bagi banyak Muslim di Barat, paket haji yang lebih terjangkau dipandang sebagai hal yang diinginkan. Namun kenyataannya, harga tetap tinggi — satu-satunya perbedaan adalah pemerintah Saudi mengumpulkan keuntungan.

Tahun ini, otoritas Saudi telah membuang sistem Motawif yang berumur pendek. Alih-alih beroperasi berdasarkan undian, sekarang telah diganti dengan sistem baru siapa cepat dia dapat (first-come, first-serve).

Hanya waktu yang akan menentukan apakah sistem baru ini layak, atau apakah akan berjalan sesuai keinginan Motawif. Terlepas dari tantangan ini, umat Islam dari seluruh dunia terus berduyun-duyun melakukan ibadah haji. Melalui ritual ini, mereka mengarahkan hati mereka secara individu dan kolektif menuju  Ka’bah. Dengan melakukan itu, mereka melangkah melampaui waktu, menghubungkan
masa lalu dan masa kini dalam perjanjian yang tak terputus dengan Tuhan.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *