pers-scaled.jpg
 20230731_193802.gif
 323276293_566466371650625_8427709249684468411_n-scaled.jpg

Editorial : Akhlanudin

Terbitnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 soal pernikahan beda agama merupakan kemunduran yang luar biasa bagi MA sekaligus cermin dari diskriminasi negara terhadap rakyatnya.

Bermodalkan putusan itu, kantor catatan sipil bisa mencatatkan perkawinan beda agama, asalkan ada penetapan pengadilan.

Kini, 37 tahun berselang, bukannya kian mendukung penghargaan terhadap hak privat masyarakat, MA malah merenggutnya.

MA mengabaikan fakta bahwa Indonesia dibangun oleh berbagai agama yang diakui negara, sehingga sangat ironis jika perkawinan beda agama justru dilarang.

Masyarakat memang dapat membangkang, misalnya memilih tinggal bersama tanpa ikatan perkawinan, menikah di luar negeri, atau berpindah agama secara pragmatis demi perkawinan.

Tapi apakah membiarkan masyarakat terpaksa melakukan hal-hal tersebut merupakan sikap yang “adil dan beradab”?

Para pemimpin MA harus menyadari hal ini: demokrasi hukum dan undang-undang hadir untuk menjamin dan melindungi hak warga negara, bukan sebaliknya.

Dalam konklusinya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, pokok permohonan soal nikah beda agama tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, hal tersebut tertuang dalam putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022.

Mahkamah Konstitusi menyatakan tetap berpegang pada pendiriannya bahwa nikah beda agama yang diatur di Undang-Undang Perkawinan telah sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi, yang mana pernikahan berbeda agama di Tanah Air tidak dibenarkan secara hukum.

Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, beberapa hari lalu Mahkamah Agung Republik Indonesia resmi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 Tentang “Petunjuk Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Beragama dan Kepercayaan”.

SEMA Nomor 2 Tahun 2023 beberapa ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran ini, sebagai berikut.

  • Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  • Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan masih perlu diharmonisasikan dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dikarenakan masih terdapat pertentangan yang menyebabkan kegaduhan hukum dalam implementasi perkawinan di Indonesia.

Disharmonisasi yang terdapat pada Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Undang-undang Perkawinan harus secepatnya diselaraskan agar tidak menimbulkan multitafsir seperti kasus-kasus sebelumnya.

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *