pers-scaled.jpg
 20230731_193802.gif
 323276293_566466371650625_8427709249684468411_n-scaled.jpg

Pemilu 2024 masih dua tahun lagi, tapi bursa pasar politik sudah riuh. Rilis hasil survei para calon presiden (capres) potensial semakin marak. Para agen  politik pun mulai terlihat tak sungkan menunjukkan dukungannya pada sosok tertentu.

Para politisi menunjukkan dinamika dengan berbagai statement yang mengisyaratkan arah politiknya. Penjelasan para elite politik itu mulai memberi petunjuk tentang kotak-kotak koalisi yang mungkin terbentuk menjelang 2024 nanti.

Pencapresan dan suara partai politik (parpol) berkelindan menuntut prioritas untuk kompetisi pemilu mendatang. Di satu sisi, parpol tidak bisa lepas dari menganalisis nama-nama popular yang mulai didukung masyarakat, sisi lain parpol harus memikirkan masa depannya. Yakni, memikirkan jumlah kursi yang harus mereka capai di Senayan nanti. Atau paling tidak, jangan sampai jebakan koalisi dukung-mendukung capres membuat mereka lupa dapur sendiri sehingga malah menjadi korban ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Dan, risiko paling pahit adalah tidak lolos ke Senayan.

Bagi parpol mapan, ambang batas parlemen bukan isu yang menjadi hambatan. Mereka paham bahwa kekuatan kursinya di parlemen cukup untuk mengejar cita-cita politiknya. Yaitu memenangkan pilpres dan meraup suara besar di parlemen. Tapi itu mungkin berlaku untuk PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Partai kelas menengah tak boleh lengah. Apalagi Party ID kita terbilang rendah. Dari banyak studi lembaga survei, angkanya tak beranjak pada kisaran 11%. Artinya, mayoritas masyarakat tak merasa dekat dengan partai tertentu. Ini menjadi catatan penting terutama bagi partai menengah. Jika konstituen tak diperhatikan, teramat mudah bagi mereka untuk ditinggalkan.

Karena Pemilu 2024 nanti adalah silang kepentingan antara usaha memenangkan pilpres dan mengamankan perolehan suara parpol, maka tulisan ini akan membahas beberapa jalan silang yang memberi peringatan kepada para parpol ini. Sampai salah jalan, mereka tak akan lolos ke Senayan, dan tinggal menjadi kenangan.

Bursa Capres

Jalan silang pertama bagi parpol adalah soal pencapresan. Persaingan soal pencapresan ini tak hanya soal lintas parpol, namun juga panas di internal parpol sendiri. Ketegangan kompetisi di internal PDIP antara Puan Maharani dan  Ganjar Pranowo hari-hari ini menunjukkan bahwa perebutan kandidasi parpol untuk Pencapresan 2024 mulai akan keras.

Ahok alias Basuki T Purnama mengikut beberapa nama dengan tren menanjak mulai mengemuka yaitu Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Ridwan Kamil, Agus Yudhoyono, Khofifah Indar Parawansa, dan Puan Maharani. Setidaknya, nama-nama tersebut yang sampai hari ini memimpin elektabilitas di pasar bursa politik. Ibarat bursa saham, agen-agen politik di belakang tokoh-tokoh tersebut terus melakukan “pom-pom” (mengerek harga dalam istilah saham) sehingga tren elektabilitasnya perlahan terus bergerak naik.

Parpol pun mulai mengkalkulasi nama-nama capres potensial tersebut. Karena keputusan mendukung calon tertentu akan berdampak bagi masa depan partainya.

Pemanasan Parpol

Aktivitas parpol juga mulai menggeliat. Karena jalan silang selanjutnya bagi parpol adalah membangun koalisi. Parpol-parpol mulai menggagas pertemuan-pertemuan bertajuk silaturahmi politik. Pada Pemilu 2024 mendatang, parpol memikul dua tugas berat sekaligus.

Beban pertama, mereka sebisa mungkin menyelamatkan bangsa dengan menghindari pembelahan atau perpecahan di masyarakat sebagaimana pemilu sebelumnya. Caranya dengan menghadirkan opsi capres lebih dari dua pasangan calon. Beban kedua adalah target kekuasaan; parpol harus memikirkan konstituennya di 80 dapil agar suaranya tercapai sesuai target atau mengalami kenaikan dari Pemilu 2019 lalu.

Soal silaturahmi politik dan upaya koalisi, elite-elite parpol sudah menunjukkan sinyalnya atau pun wait and see. Sinyal dari elite PDIP jelas bahwa mereka tegas tak ingin koalisi dengan Demokrat dan PKS. Panggung politik makin menarik karena elite Demokrat langsung merespons. Demokrat juga merasa tak sudi koalisi dengan PDIP. Mereka merasa rugi secara kalkulasi.

Jika isyarat politik saat ini baru menunjukkan terbelah antara dua koalisi, itu semata-mata partai lain seperti Golkar, PKB, Nasdem, PKS, PAN, dan PPP masih menimbang dan tak ingin bergejolak di awal. Sebut saja Golkar, terbiasa matang dalam mengambil keputusan politik last minute untuk kemudian mengayun tak terduga mengejar kepentingannya. Dan Golkar tentu masih ingat lekat-lekat bahwa dalam tiga pemilu sebelumnya suara mereka lebih dari 14% karena ada kader  mereka di pilpres.

Framing dan Bandwagon Effect

Sinyal selanjutnya yang harus tertangkap radar parpol adalah framing agen politik dan upaya bandwagon effect dari para agen politik. Parpol sadar betul bahwa politik tidak bergerak di ruang hampa.

Elektabilitas tidak tiba-tiba terus melaju. Koalisi tidak tiba-tiba secara ajaib terbentuk. Segalanya dimulai dari framing. Yakni strategi membingkai arus informasi baik digital atau pun konvensional untuk mendorong pemberitaan masif dalam pencapresan dan dalam koalisi.

Dalam konteks koalisi, framing untuk membangun polarisasi koalisi mulai digulirkan. Ada yang sudah membingkai agenda politik bahwa koalisi ke depan mengarah dalam dua poros besar. Namun juga ada yang masih menunggu angin dan arah politik.

Dalam konteks pencapresan, para agen politik mencoba memanfaatkan bandwagon effect. Yakni efek untuk ikut-ikutan memilih kecenderungan umum. Berharap, orang-orang pada umumnya akan ikut-ikutan memilih capres yang modal elektabilitasnya sudah tinggi sedari sekarang. Tentu para agen politik dan pendukung mencoba memaksimalkan bandwagon effect ini agar tren bergerak naik elektabilitas para capresnya terus ke atas hingga 2024 nanti.

Coattail Effect

Jalan silang selanjutnya bagi parpol adalah menimbang coattail effect atau efek ekor jas. Yakni pengaruh tokoh tertentu terhadap perolehan suara parpol. Studi politik di beberapa tempat menunjukkan bahwa popularitas kandidat presiden akan berdampak positif terhadap perolehan suara partai pengusungnya.

Tentu saja coattail effect akan didapatkan oleh parpol yang paling terasosiasi kuat dengan capres popular. Pada pemilu-pemilu sebelumnya, efek ekor jas ini terlihat nyata. Demokrat menjadi kuat karena figur SBY, Golkar mendapat suara tinggi karena kadernya ada di pencapresan, PDIP menang Pemilu 2014 dan 2019 karena Joko Widodo terasosiasi kuat dengan PDIP, dan perolehan suara Gerindra tinggi karena mendapatkan berkah pencapresan Prabowo.

Parpol tentu sadar bahwa tokoh dalam pencapresan akan mempengaruhi perolehan suaranya. Jika koalisi terbatas pada dua poros, bukankah akan merugikan banyak partai menengah dan hanya menguntungkan partai besar saja? Mengapa? Jelas, karena yang akan diajukan menjadi capres adalah tokoh popular dari partai besar tersebut, bukan?

Selamat Menimbang

Dari beberapa silang jalan yang sudah disebutkan akan dihadapi, parpol harus memilih. Sejatinya salah satu tujuan didirikannya parpol adalah seleksi kepemimpinan nasional berkualitas yang mestinya juga ditimbang seiring upaya-upayanya untuk mendapatkan kekuasaan.

Selain itu, parpol juga perlu melihat tanggung jawab dalam konsolidasi demokrasi masyarakat khas Indonesia. Pilihan capres yang terbatas hanya dua telah membelah bangsa ini cukup dalam seperti pemilu sebelumnya. Lantas ke manakah parpol akan melangkah pada simpang-simpang jalan Pemilu 2024 nanti?

Mengapa parpol tak cukup berani untuk melihat poros alternatif? Pemilu lalu menunjukkan bahwa koalisi besar memang memenangkan pencapresan, tapi bukankah dua parpol besar seperti PAN dan PPP hampir tidak lolos ke Senayan, atau hampir terdegradasi? Selamat menimbang 2024 antara pencapresan dan ambisi meraup suara untuk kekuasaan.

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *