Gagasan tiga capres dan cawapres di bidang pendidikan yang mengusung makan siang gratis untuk anak SD sampai SMA, sekolah gratis baik di swasta maupun negeri, hingga program satu sarjana di satu keluarga miskin disebut pengamat “terlalu mengada-ada dan mirip iklan bombastis”.
Pemerhati pendidikan, Mohammad Abduzen dan Itje Chodidjah, berkata persoalan utama pendidikan di Indonesia adalah masih sulitnya masyarakat mengakses pendidikan dan kurangnya kualitas pengajar.
Lantas apa alasan para capres dan cawapres menyodorkan program tersebut dan apakah janji-janji itu realistis untuk dilakukan?
Sejumlah pengamat pendidikan menyebut janji ketiga pasangan calon capres dan cawapres soal pendidikan layaknya iklan bombastis yang mengada-ada.
Padahal, kebijakan dalam pendidikan semestinya berkelanjutan dan sebaiknya melanjutkan apa yang telah dijalankan sebelumnya sehingga bisa mengisi ‘kekosongan’ yang ditinggalkan.
Dalam pandangan pemerhati pendidikan, Mohammad Abduzen, program makan siang dan susu gratis yang dijanjikan pasangan Prabowo-Gibran terlalu mengawang dan terlalu jauh dari amanat undang-undang.
“Kalau mencerdaskan kehidupan bangsa dengan makan siang gratis, sulit saya mencernanya,” ujar Mohammad Abduzen seperti dilansir dari BBC News Indonesia.
Dia pun mempertanyakan sumber anggaran yang digunakan untuk janji-janji program itu. Dana yang sudah ada saja, katanya, tidak memberikan efek signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan dan proses belajar mengajar.
“Mungkin makan gratis itu asumsinya untuk memperbaiki gizi anak, supaya gampang mencerna pelajaran. Okelah otak encer tapi proses belajarnya ngaco bagaimana? Bisa pintar? Menurut saya tidak…”
Pengamatannya terhadap negara-negara yang menerapkan makan siang gratis di sekolah seperti Jepang tujuan utamanya adalah melatih kemandirian anak-anak.
Sebab mereka terbiasa mengurus hidangan sendiri dan membersihkan sendiri.
“Jadi lebih kepada pendidikan karakter,” jelasnya.
Abduzen juga mempertanyakan anggaran yang diperlukan untuk mewujudkan janji Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang ingin menggratiskan sekolah negeri dan swasta.
Ia menjelaskan keberadaan sekolah swasta sebetulnya adalah bentuk partisipasi terhadap proses penyediaan pendidikan.
Itu kenapa sekolah swasta cenderung lebih kuat secara dana.
“Ya meskipun sekolah negeri dan swasta tanggung jawab negara, tapi penyelenggara negara belum bisa sepenuhnya membiayai.”
“Harus step by step hingga pada akhirnya memberi kesempatan pada semua masyarakat.”
Penilaian serupa juga diutarakan pengamat pendidikan Itje Chodidjah terhadap janji paslon Ganjar-Mahfud yang mengusung program satu sarjana di satu keluarga miskin.
Menurut dia tidak mudah meyakinkan keluarga kelas bawah untuk menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Mereka lebih mengutamakan agar anak-anaknya membantu bekerja.
Mohammad Abduzen juga menambahkan banyak keluarga miskin sebetulnya ingin anak mereka menempuh perguruan tinggi tapi selalu tersandung biaya.
Selain itu akan muncul ketidakadilan di keluarga menengah yang terjepit di antara kaya dan miskin.
Itu sebabnya dia menilai solusinya adalah “merendahkan biaya pendidikan”.
“Banyak anak-anak pintar SMA yang tidak berani ambil fakultas kedokteran karena mahal.”
Itje Chodidjah dan Mohammad Abduzen menyebut persoalan utama pendidikan di Indonesia adalah akses dan kualitas pendidikan yang tidak merata.
Akses yang dimaksud bisa berupa infrastruktur sekolah seperti bangunan yang tidak layak, jalan rusak, dan ketiadaan fasilitas yang memadai.
Adapun kualitas di antaranya adalah tenaga pendidik dan pengajar.
“Pendidikan itu untuk memenuhi kebutuhan anak-anak kita untuk hidup di masanya, jadi kalau cuma iklan-iklan begitu saya khawatir… apalagi literasi di Indonesia belum merata.”
“Sehingga ketika ditawari sesuatu yang gratis, akan dimakan mentah-mentah.”