pers-scaled.jpg
 20230731_193802.gif
 323276293_566466371650625_8427709249684468411_n-scaled.jpg

Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) menyebut potensi kecurangan saat pencoblosan hingga penghitungan surat suara pada Pemilu 2024 jauh lebih besar dari tahun 2019. Seperti apa modusnya?

Vote buying alias beli suara

Sekjen KIPP, Kaka Suminta mengatakan praktik beli suara menjadi modus kecurangan konvensional yang kerap berlangsung di tiap pemilu.

Pada pemilu tahun ini, cara serupa dipastikan akan terjadi. Yakni calon anggota legislatif menjanjikan apa yang disebut ‘uang transportasi’ jika pemilih yang berada di dekat lokasi Tempat Pemungutan Suara (TPS) memilih dia.

Pemberian ‘uang transportasi’ itu, sambungnya, bakal diberikan lagi begitu pemilih tersebut dipastikan telah mencoblos namanya di surat suara dengan bukti berupa foto atau video.

Besaran uang yang diberikan, kata Kaka, bervariasi. Tapi kebanyakan di angka Rp50.000-Rp200.000 per kepala keluarga.

“Praktik vote buying begini marak terjadi untuk caleg di semua tingkatan,” jelasnya

“Dan biasanya marak di daerah yang minim pengawasan dibanding perkotaan.”

Menyuap petugas KPPS, PPS, dan PPK

Di UU Pemilu ada petugas penyelenggara pemilu, mulai dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).

KPPS bertugas melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara di TPS, mengumumkan hasil penghitungan suara di TPS, hingga menjaga serta mengamankan keutuhan kotak suara setelah penghitungan suara dan setelah kotak suara disegel.

PPS tugasnya mengawasi KPPS dan mengendalikan kegiatan KPPS, menandatangani daftar pemilih sementara dan daftar pemilih sementara hasil perbaikan.

PPK kerjanya mengawasi dan mengendalikan kegiatan PPS, menandatangani berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan suara bersama-sama anggota PPK, dan saksi peserta pemilu.

Intinya, menurut Kaka Suminta, para petugas itu “rawan digoda untuk berbuat curang”.

Praktik curang yang terjadi biasanya petugas KPPS ditawari uang agar mau ‘mentransfer perolehan suara’ dari caleg yang tak punya saksi di TPS.

“Jadi caleg yang tidak punya saksi itu berpotensi mengalami pengurangan atau pengalihan suara ke calon yang menguasai TPS itu dan diperkuat adanya pemberian uang.”

“Kalaupun ketahuan, dalihnya kekeliruan.”

Intimidasi penyelenggara pemilu

Fenomena kecurangan yang dikhawatirkan bakal meningkat, menurut dia, adanya intimidasi dari aparatur negara kepada penyelenggara pemilu.

Dalam pertemuannya dengan petugas pemilu di daerah, mereka mengaku merasa tidak nyaman dengan kehadiran langsung aparat polisi, TNI, maupun aparatur desa saat menggelar rapat.

Padahal di pemilu-pemilu sebelumnya tak ada aparat yang datang. Mereka biasanya memantau lewat kamera CCTV yang terpasang di kantor KPU daerah.

“Para petugas pemilu ini agak kurang bebas ketika dalam acara-acara rapat ada aparat datang. Walau sah-sah saja ada polisi atau tentara, cuma ada ketidaknyaman.”

Yang dia khawatirkan, kehadiran fisik aparat polisi/TNI maupun aparatur desa/kecamatan/kelurahan yang menjadi kader partai tertentu mendatangi TPS.

Di sana, aparatur pemerintahan bisa saja mendekati pemilih dan secara terselubung mengajak agar memilih calon tertentu.

Indikasi kecurangan informasi teknologi Sirekap

Pada Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memanfaatkan Sirekap atau Sistem Informasi Rekapitulasi Elektronik.

Fungsinya membantu sistem rekapitulasi KPU, perhitungan, hasil perhitungan suara dari berjenjang (kabipaten/kota, provinsi) sampai ke pusat dengan cara memasukkan data ke sistem komputer.

Sirekap juga digunakan sebagai alat bantu dalam rangka mendokumentasikan hasil perolehan suara sementara di TPS dan untuk menyampaikan hasil perhitungan suara sementara secara cepat kepada publik.

Yang jadi masalah, kata Kaka, penggunaan Sirekap oleh petugas pemilu mulai dari KPPS dan PPK belum jelas betul. Begitu pula aturan mainnya.

Potensi kecurangan pun muncul ketika ada perbedaan jumlah suara antara yang tersimpan di sistem komputer Sirekap dan formulir C-1.

“Bagaimana kalau ternyata jumlah suara di sistem komputer dan di formulir C-1 berbeda? Mana yang dipakai?”

“Di sinilah sumber permasalahan dan kecurangannya.”

Mobilisasi pemilih yang diklaim masuk Daftar Pemilih Khusus

Kaka Suminta mengatakan ada perbedaan pengertian tentang Daftar Pemilih Khusus dalam Surat Edaran KPU nomor 66 dan Peraturan KPU (PKPU).

Di Surat Edaran tercantum bahwa daftar pemilih khusus yang punya Kartu Tanda Penduduk boleh mencoblos meskipun bukan di tempat domisili.

Sedangkan kalau merujuk pada UU, daftar pemilih khusus yang memiliki KTP bisa mencoblos asalkan tetap berada di wilayah domisili.

“Celah ini bisa dimanfaatkan untuk mobilisasi pemilih.”

“Kalau ada orang berbondong-bondong dari industri misalnya datang dalam jumlah banyak dan ada masalah administrasi lalu dibolehkan menggunakan surat suara, ini kan namanya mobilisasi.”

Kongkalikong mencoblos surat suara cadangan

Di setiap TPS biasanya tersedia 2% surat suara cadangan. Praktik kongkalikong yang marak terjadi pada pemilu 2019 yakni mencoblos surat suara cadangan tersebut.

Akan tetapi kecurangan ini tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak saja, namun “didesain secara sengaja” oleh calon atau parpol maupun tim capres tertentu kepada penyelenggara pemilu.

“Jadi aktor utamanya di situ penyelenggara pemilu.”

Pada pemilu 2019, praktik ini terjadi di Pilpres dan Pileg ketika perbedaan suara antar-calon sangat tipis sehingga membutuhkan “suara tambahan” yang dicuri dari surat suara cadangan.

Potensi penggelembungan suara saat jeda istirahat

Jeda istirahat makan siang menjadi waktu paling rawan terjadi kecurangan berupa penggelembungan suara.

Di waktu yang cukup panjang itu TPS tak ada yang mengawasi. Para saksi pun biasanya akan lengah karena ada jam istirahat. Di situlah surat suara yang lebih bisa dicoblos untuk kepentingan pihak tertentu.

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *