pers-scaled.jpg
 20230731_193802.gif
 323276293_566466371650625_8427709249684468411_n-scaled.jpg

Sesuai dengan kesepakatan KMB (Konferensi Meja Bundar) pada November 1949, dibentuklah pemerintahan RIS (Republik Indonesia Serikat ) yang terdiri dari 16 negara bagian dengan kepala negara Presiden Soekarno. Sedangkan kepala pemerintahan dipegang PM Mohammad Hatta. Sjafruddin Prawiranegara yang mewakili Masyumi (Sebuah partai Islam yang terbesar yang pernah ada di Indonesia), duduk sebagai Menteri Keuangan dalam kabinet itu.

Ketika pemerintahan RIS, terjadilah inflasi yang merajalela. Seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintah di era RIS juga mengeluarkan uang baru tanpa mempunyai penerimaan. Padahal pemerintah memerlukan anggaran besar untuk merekonstruksi daerah-daerah yang dibumihanguskan, membiayai kebutuhan militer dan keamanan, serta pengurus birokrasi.

Pada saat yang sama: ada bermacam-macam uang yang beredar, yaitu ORI (Oeang Repoeblik Indonesia), uang de Javasche Bank dan uang NICA. Ini mempersulit transaksi perdagangan karena kursnya yang mudah berubah.

Oleh sebab itu, keluarlah Peraturan Menteri Keuangan No. PU-1 yang mewajibkan pengguntingan segala macam uang yang beredar, baik uang Nica dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp. 5 ke atas. Sedangkan ORI dan uang pecahan Rp. 2,5 ke bawah tidak digunting dengan alasan untuk melindungi rakyat kecil.

Sejak peraturan itu kelar, maka bagian kiri dari uang kertas yang telah digunting berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai 50% dari harga nominal yang tertulis. Potongan uang sebelah kiri itu berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sampai dengan tanggal 22 Maret 1950. Kemudian harus ditukar dengan uang kertas baru di bank atau tempat-tempat yang telah ditentukan. Batas akhir penukaran adalah 16 April 1950. Sesudah itu dinyatakan tidak berlaku lagi.

Adapun uang yang bagian kanan, dinyatakan tidak berlaku. Namun dapat ditukarkan dengan surat obligasi pemerintah yang nilainya 50% dari harga nominal semula. Obligasi tersebut dinamakan Obligasi Pinjaman Darurat 1950.

Sebagai pengantar untuk tindakan yang menggemparkan itu, Sjafruddin berpidato di depan corong RRI Yogyakarta 1950 bahwa pemerintah terpaksa melakukan pinjaman kepada rakyat. Bahwa ORI yang dibangga-banggakan, kini bertebaran di mana-mana seperti sampah. Diakui juga bahwa peraturan ini memberatkan para importir tetapi kepentingan para petani yang menghasilkan sebagian besar barang-barang ekspor Indonesia tidak boleh dikorbankan. Peraturan pengguntingan ini diharapkan menjadi cambuk bagi masyarakat untuk bekerja lebih keras, dengan dikuranginya peredaran uang, harga barang-barang akan turun, sedangkan upah akan tetap sebagaimana biasa. Juga sebagai upaya menghentikan berbagai aksi pemogokan buruh dan demi lancarkan peredaran uang dalam menopang perekonomian masyarakat.

Setelah pengumuman Menteri Keuangan ini, keadaan pasar menjadi simpang siur. Di beberapa kota besar banyak toko tutup dan banyak pedagang yang menolak uang yang digunting tersebut sebagai alat pembayaran. Harga kebutuhan sehari-hari naik tiga kali lipat. Tidak sedikit yang menimbun barang walaupun ada larangan pemerintah disertai ancaman hukuman dan denda.

Kekacauan ini berlangsung beberapa hari saja, keadaan berangsur-angsur semakin baik. Ekspor terjadi peningkatan mencolok. Harga-harga barang terutama bahan makanan pokok seperti beras tidak naik. Para pedagang Cina yang menimbun barang dan melakukan spekulasi akhirnya mengalami kerugian akibat tindakan menimbun barang. Mereka keliru memperhitungkan akibat dari “Gunting Sjafruddin”. Para pedagang Cina akhirnya mengakui bahwa tindakan pemerintah itu mampu membuat masyarakat menaruh kepercayaan kembali terhadap uang dan menjadikan kedudukan uang menjadi lebih baik. Begitulah yang dilaporkan oleh majalah Tionghoa “Star Weekly” pada 23 Juli 1950.

Sumber: Republika, 13-03-1995, hal 10. Koleksi Surat Kabar Langka-Perpustakaan Nasional Salemba (SKALA-Team)

About Post Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *